ORGANISASI PERGERAKAN NASIONAL
5. Gerakan Pemuda
Gerakan
pemuda Indonesia, sebenarnya telah dimulai sejak berdirinya Budi Utomo, namun
sejak kongresnya yang pertama perannya telah diambil oleh golongan tua (kaum
priayi dan pegawai negeri) sehingga para pemuda kecewa dan keluar dari
organisasi tersebut. Baru beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 7
Maret 1915 di Batavia berdiri Trikoro Dharmo oleh R. Satiman Wiryosanjoyo,
Kadarman, dan Sunardi. Trikoro Dharmo yang diketui oleh R. Satiman
Wiryosanjoyo merupakan oeganisasi pemuda yang pertama yang anggotanya terdiri
atas para siswa sekolah menengah berasal dari Jawa dan Madura. Trikoro Dharmo,
artinya tiga tujuan mulia, yakni sakti, budi, dan bakti. Tujuan perkumpulan ini
adalah sebagai berikut:
·
Mempererat tali persaudaraan antar siswa-siswi bumi
putra pada sekolah menengah dan perguruan kejuruan;
·
Menambah pengetahuan umum bagi para anggotanya;
·
Membangkitkan dan mempertajam peranan untuk segala
bahasa dan budaya.
Tujuan
tersebut sebenarnya baru merupakan tujuan perantara. Adapun tujuan yang
sebenarnya adalah seperti apa yang termuat dalam majalah Trikoro Dharmo yakni
mencapai Jawa raya dengan jalan memperkokoh rasa persatuan antara pemuda-pemuda
Jawa, Sunda, Madura, Bali, dan Lombok. Oleh karena sifatnya yang masih Jawa
sentris maka para pemuda di luar Jawa (tidak berbudaya Jawa) kurang
senang. Untuk menghindari perpecahan, pada kongresnya di Solo pada
tanggal 12 Juni 1918 namanya diubah menjadi Jong Java (Pemuda Jawa). Sesuai
dengan anggaran dasarnya, Jong Java ini bertujuan untuk mendidik para
anggotanya supaya kelak dapat menyumbangkan tenaganya untuk membangun Jawa raya
dengan jalan mempererat persatuan, menambah pengetahuan, dan rasa cinta pada budaya
sendiri.
Sejalan
dengan munculnya Jong Java, pemuda-pemuda di daerah lain juga membentuk
organisasi-organisasi, seperti Jong Sumatra Bond, Pasundan, Jong Minahasa, Jong
Ambon, Jong Selebes, Jong Batak, Pemuda Kaum Betawi, Sekar Rukun, Timorees
Verbond, dan lain-lain. Pada dasarnya semua organisasi itu masih bersifat
kedaerahan, tetapi semuanya mempunyai cita-cita ke arah kemajuan Indonesia,
khususnya memajukan budaya dan daerah masing-masing.
6. Taman Siswa
Sekembalinya
dari tanah pengasingannya di Negeri Belanda (1919), Suwardi Suryaningrat
menfokuskan perjuangannya dalam bidang pendidikan. Pada tanggal 3 Juli 1922
Suwardi Suryaningrat (lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara) berhasil
mendirikan perguruan Taman Siswa di Yogyakarta. Dengan berdirinya Taman Siswa,
Suwardi Suryaningrat memulai gerakan baru bukan lagi dalam bidang politik
melainkan bidang pendidikan, yakni mendidik angkatan muda dengan jiwa
kebangsaan Indonesia berdasarkan akar budaya bangsa. Sekolah Taman Siswa
dijadikan sarana untuk menyampaikan ideologi nasionalisme kebudayaan,
perkembangan politik, dan juga digunakan untuk mendidik calon-calon pemimpin
bangsa yang akan datang.
Dalam hal
ini, sekolah merupakan wahana untuk meningkatkan derajat bangsa melalui
pengajaran itu sendiri. Selain pengajaran bahasa (baik bahasa asing maupun
bahasa Indonesia), pendidikan Taman Siswa juga memberikan pelajaran sejarah,
seni, sastra (terutama sastra Jawa dan wayang), agama, pendidikan jasmani, dan
keterampilan (pekerjaan tangan) merupakan kegiatan utama perguruan Taman Siswa.
Penididikan
Taman Siswa dilakukan dengan sistem "among" dengan pola belajar
"asah, asih dan asuh". Dalam hal ini diwajibkan bagi para guru untuk
bersikap dan berlaku "sebagai pemimpin" yakni di depan memberi
contoh, di tengah dapat memberikan motivasi, dan di belakang dapat memberikan
pengawasan yang berpengaruh. Prinsip pengajaran inilah yang kemudian dikenal
dengan pola kepemimpinan "Ing ngarsa sung tulodho, ing madya mangun karsa,
tut wuri handayani ". Pola kepemimpinan ini sampai sekarang masih menjadi
ciri kepemimpinan nasional.
Berkat jasa
dan perjuangannya yakni mencerdaskan kehidupan menuju Indonesia merdeka maka
tanggal 2 Mei (hari kelahiran Ki Hajar Dewantara) ditetapkant sebagai hari
Pendidikan Nasional. Di samping itu, "Tut Wuri Handayani" sebagai
semboyan terpatri dalam lambang Departemen Pendidikan Nasional.
7. Partai Komunis Indonesia (PKI)
Benih-benih
paham Marxis dibawa masuk ke Indonesia oleh seorang Belanda yang bernama
H.J.F.M. Sneevliet. Atas dasar Marxisme inilah kemudian pada tanggal 9 Mei 1914
di Semarang, Sneevliet bersama-sama dengan J.A. Brandsteder, H.W. Dekker, dan
P. Bersgma berhasil mendirikan Indische Sociaal Democratische Vereeniging
(ISDV). Ternyata ISDV tidak dapat berkembang sehingga Sneevliet melakukan
infiltrasi (penyusupan) kader-kadernya ke dalam tubuh SI dengan menjadikan
anggota-anggota ISDV sebagai anggota SI, dan sebaliknya anggota-anggota SI
menjadi anggota ISDV.
Dengan cara
itu Sneevliet dan kawan-kawannya telah mempunyai pengaruh yang kuat di kalangan
SI, lebih-lebih setelah berhasil mengambil alih beberapa pemimpin SI, seperti
Semaun dan Darsono. Mereka inilah yang dididik secara khusus untuk menjadi
tokoh-tokoh Marxisme tulen. Akibatnya SI Cabang Semarang yang sudah berada di
bawah pengaruh ISDV semakin jelas warna Marxisnya dan selanjutnya terjadilah
perpecahan dalam tubuh SI.
Pada tanggal
23 Mei 1923 ISDV diubah menjadi Partai Komunis Hindia dan selanjutnya pada
bulan Desember 1920 menjadi Partai Komunis Indonesia. (PKI). Susunan pengurus PKI
, antara lain Semaun (ketua), Darsono (wakil ketua), Bersgma (sekretaris), dan
Dekker (bendahara).
PKI semakin
aktif dalam percaturan politik dan untuk menarik massa maka dalam propagandanya
PKI menghalalkan secara cara. Sampai-sampai tidak segan-segan untuk
mempergunakan kepercayaan rakyat kepada ayat-ayat Al - Qur'an dan Hadis bahkan
juga Ramalan Jayabaya dan Ratu Adil.
Kemajuan
yang diperolehnya ternyata membuat PKI lupa diri sehingga merencanakan suatu
petualangan politik. Pada tanggal 13 November 1926 PKI melancarkan
pemberontakan di Batavia dan disusul di daerah-daerah lain, seperti Jawa Barat,
Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Di Sumatra Barat pemberontakan PKI dilancarkan
pada tanggal 1 Januari 1927. Dalam waktu yang singkat semua pemberontakan PKI tersebut
berhasil ditumpas. Akhirnya, ribuan rakyat ditangkap, dipenjara, dan dibuang ke
Tanah Merah dan Digul Atas (Papua).
8. Partai Nasional Indonesia (PNI)
Algemene
Studie Club di Bandung yang didirikan oleh Ir. Soekarno pada tahun 1925 telah
mendorong para pemimpin lainnya untuk mendirikan partai politik, yakni Partai
Nasional Indonesia ( PNI). PNI didirikan di Bandung pada tanggal 4 Juli 1927
oleh 8 pemimpin, yakni dr. Cipto Mangunkusumo, Ir. Anwari, Mr. Sartono, Mr.
Iskak, Mr. Sunaryo, Mr. Budiarto, Dr. Samsi, dan Ir. Soekarno sebagai ketuanya.
Kebanyakan dari mereka adalah mantan anggota Perhimpunan Indonesia di Negeri
Belanda yang baru kembali ke tanah air.
Radikal PNI
telah kelihatan sejak awal berdirinya. Hal ini terlihat dari anggaran dasarnya
bahwa tujuan PNI adalah Indonesia merdeka dengan strategi perjuangannya
nonkooperasi. Untuk mencapai tujuan tersebut maka PNI berasaskan pada self
help, yakni prinsip menolong diri sendiri, artinya memperbaiki keadaan politik,
ekonomi, dan sosial budaya yang telah rusak oleh penjajah dengan kekuatan
sendiri; nonkooperatif, yakni tidak mengadakan kerja sama dengan pemerintah
Belanda; Marhaenisme, yakni mengentaskan massa dari kemiskinan dan
kesengsaraan.
Untuk
mencapai tujuan tersebut, PNI telah menetapkan program kerja sebagaimana
dijelaskan dalam kongresnya yang pertama di Surabaya pada tahun 1928, seperti
berikut.
a.
Usaha politik, yakni memperkuat rasa kebangsaan
(nasionalisme) dan kesadaran atas persatuan bangsa Indonesia, memajukan
pengetahuan sejarah kebangsaan, mempererat kerja sama dengan bangsa-bangsa
Asia, dan menumpas segala rintangan bagi kemerdekaan diri dan kehidupan
politik.
b.
Usaha ekonomi, yakni memajukan perdagangan pribumi,
kerajinan, serta mendirikan bank-bank dan koperasi.
c.
Usaha sosial, yaitu memajukan pengajaran yang bersifat
nasional, meningkatkan derajat kaum wanita, memerangi pengangguran, memajukan
transmigrasi, memajukan kesehatan rakyat, antara lain dengan mendirikan
poliklinik.
Untuk
menyebarluaskan gagasannya, PNI melakukan propaganda-propaganda, baik lewat
surat kabar, seperti Banteng Priangan di Bandung dan Persatuan Indonesia di
Batavia, maupun lewat para pemimpin khususnya Ir. Soekarno sendiri. Dalam waktu
singkat, PNI telah berkembang pesat sehingga menimbulkan kekhaw-tiran di pihak
pemerintah Belanda. Pemerintah kemudian memberikan peringatan kepada pemimpin
PNI agar menahan diri dalam ucapan, propaganda, dan tindakannya.
Dengan
munculnya isu bahwa PNI pada awal tahun 1930 akan mengadakan pemberontakan maka
pada tanggal 29 Desember 1929, pemerintah Hindia Belanda mengadakan
penggeledahan secara besar-besaran dan menangkap empat pemimpinnya, yaitu Ir.
Soerkarno, Maskun, Gatot Mangunprojo dan Supriadinata. Mereka kemudian diajukan
ke pengadilan di Bandung.
Dalam sidang
pengadilan, Ir. Soerkarno mengadakan pembelaan dalam judul Indonesia Menggugat.
Atas dasar tindakan melanggar Pasal "karet" 153 bis dan Pasal 169
KUHP, para pemimpin PNI dianggap mengganggu ketertiban umum dan menentang
kekuasaan Belanda sehingga dijatuhi hukuman penjara di Penjara Sukamiskin
Bandung. Sementara itu, pimpinan PNI untuk sementara dipegang oleh Mr. Sartono
dan dengan pertimbangan demi keselamatan maka pada tahun 1931 oleh pengurus
besarnya PNI dibubarkan. Hal ini menimbulkan pro dan kontra.
Mereka yang
pro pembubaran, mendirikan partai baru dengan nama Partai Indonesia (Partindo)
di bawah pimpinan Mr. Sartono. Kelompok yang kontra, ingin tetap melestarikan
nama PNI dengan mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru) di bawah
pimpinan Drs. Moh. Hatta dan Sutan Syahrir.
9. Gerakan Wanita
Munculnya
gerakan wanita di Indonesia, khusunya di Jawa dirintis oleh R.A. Kartini yang
kemudian dikenal sebagai pelopor pergerakan wanita Indonesia. R.A. Kartini
bercita-cita untuk mengangkat derajat kaum wanita Indonesia melalui
pendidikan. Cita-citanya tersebut tertulis dalam surat-suratnya yang
kemudian berhasil dihimpun dalam sebuah buku yang diterjemahkan dalam judul
Habis Gelap Terbitlah Terang. Cita-cita R.A. Kartini ini mempunyai persamaan
dengan Raden Dewi Sartika yang berjuang di Bandung. Semasa Pergerakan Nasional
maka muncul gerakan wanita yang bergerak di bidang pendidikan dan sosial
budaya. Organisasi-organisasi yang ada, antara lain sebagai berikut.
a.
Putri Mardika di Batavia (1912) dengan tujuan membantu
keuangan bagi wanita-wanita yang akan melanjutkan sekolahnya. Tokohnya, antara
lain R.A. Saburudin, R.K. Rukmini, dan R.A. Sutinah Joyopranata.
b.
Kartinifounds, yang didirikan oleh suami istri T.Ch.
van Deventer (1912) dengan membentuk sekolah-sekolah Kartinibagi kaum wanita,
seperti di Semarang, Batavia, Malang, dan Madiun.
c.
Kerajinan Amal Setia, di Koto Gadang Sumatra Barat
oleh Rohana Kudus (1914).
Tujuannya meningkatkan derajat kaum wanita dengan cara
memberi pelajaran membaca, menulis, berhitung, mengatur rumah tangga, membuat
kerajinan, dan cara pemasarannya.
d.
Aisyiah, merupakan organisasi wanita Muhammadiyah yang
didirikan oleh Ny. Hj. Siti Walidah Ahmad Dahlan (1917). Tujuannya untuk
memajukan pendidikan dan keagamaan kaum wanita.
e.
Organisasi Kewanitaan lain yang berdiri cukup banyak,
misalnya Pawiyatan Wanito di Magelang (1915), Wanito Susilo di Pemalang (1918),
Wanito Rukun Santoso di Malang, Budi Wanito di Solo, Putri Budi Sejati di
Surabaya (1919), Wanito Mulyo di Yogyakarta (1920), Wanito Utomo dan Wanito
Katolik di Yogyakarta (1921), dan Wanito Taman Siswa (1922).
Organisasi
wanita juga muncul di Sulawesi Selatan dengan nama Gorontalosche Mohammadaanche
Vrouwenvereeniging. Di Ambon dikenal dengan nama Ina Tani yang lebih condong ke
politik. Sejalan dengan berdirinya organisasi wanita, muncul juga surat kabar
wanita yang bertujuan untuk menyebarluaskan gagasan dan pengetahuan kewanitaan.
Surat kabar milik organisasi wanita, antara lain Putri Hindia di Bandung, Wanito
Sworo di Brebes, Sunting Melayu di Bukittinggi, Esteri Utomo di Semarang, Suara
Perempuan di Padang, Perempunan Bergolak di Medan, dan Putri Mardika di
Batavia.
Puncak gerakan wanita, yaitu dengan diselenggarakannya Kongres Perempuan Indonesia I pada tanggal 22–25 Desember 1928 di Yogyakarta. Kongres menghasilkan bentuk perhimpunan wanita berskala nasional dan berwawasan kebangsaan, yakni Perikatan Perempuan Indonesia (PPI). Dalam Kongres Wanita II di Batavia pada tanggal 28–31 Desember 1929 PPI diubah menjadi Perikatan Perhimpunan Isteri Indonesia (PPII). Kongres Wanita I merupakan awal dari bangkitnya kesadaran nasional di kalangan wanita Indonesia sehingga tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai hari Ibu.
Ciri Perlawanan Bangsa Indonesia Terhadap Penjajahan Bangsa Barat di IndonesiaSebelum dan Sesudah Abad ke-20
Sebelum abad ke-20 perlawanan masih bersifat kedaerahan.
Masing-masing pemimpin mempertahankan wilayah kekuasaannya. Sesudah abad ke-20
sudah bersifat nasional, yaitu perjuangan tidak lagi bersifat nasionalisme
sempit, namun perjuangan ditujukan untuk mencapai Indonesia Merdeka. Munculnya
kata “Indonesia” sebagai identitas bangsa menyatukan berbagai suku, agama, dan
budaya yang ada di Nusantara untuk bersatu padu mengusir penjajah.Sebelum abad
ke-20 perlawanan dipimpin oleh raja atau bangsawan. Pangeran Diponegoro
(bangsawan), Teuku Umar (bangsawan), Sultan Hasanuddin (raja), Si Singamagaraja
IX (raja). Karena perlawanan bertumpu pada kharisma pemimpin, maka tatkala
pemimpin tewas atau tertangkap, perlawanan akan berhenti. Sesudah abad ke-20
perjuangan dipimpin oleh golongan terpelajar (cendekiawan).
Pemberian kesempatan bagi pribumi untuk mengenyam pendidikan
di sekolah-sekolah Belanda pada awal abad ke-20 dimaksudkan untuk memperoleh
tenaga kerja murah, namun justru melahirkan
Golongan cendekiawan yang kemudian memimpin perjuangan melawan
kolonialisme Belanda. Mereka adalah Sutomo, Suardi Suryaningrat, Soekarno, Moh.
Hatta, Sahrir, dan lain-lain. Karena perjuangan melalui organisasi modern
menerapkan sistem kaderisasi, maka meski pemimpin tertangkap dan dipenjara,
perlawanan tetap berlanjut.Sebelum abad ke-20 perjuangan berbentuk perlawanan
fisik, melalui peperangan. Pertempuran secara frontal menimbulkan banyak korban
jiwa bagi kedua pihak. Sesudah abad ke-20 perjuangan melalui organisasi
pergerakan nasional. Upaya mencapai kemerdekaan dilakukan dengan cara-cara
modern, misalnya lewat media massa, demo, pemogokan buruh/pegawai, atau
mengirimkan wakil-wakil di dewan rakyat (volksraad), serta menggalang
dukungan politik dari dunia luar.Sebelum abad ke-20 perlawanan berpusat di
desa-desa atau di pedalaman karena kota-kota yang merupakan pusat perniagaan
dikuasai Belanda dan didirikan benteng. Sesudah abad ke-20 pusat perjuangan di
kota-kota. Organisasi pergerakan yang berkedudukan di kota-kota besar melakukan
kritik, agitasi massa, dan menentang berbagai kebijakan pemerintah kolonial
Belanda.