Subscribe Channel MAN 2 Kebumen

Subscribe and stay connect with us!!

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Perlawanan Rakyat Indonesia Terhadap Penjajahan Bangsa Barat


 

A.  Bentuk Perlawanan Rakyat Indonesia Terhadap Penjajahan Bangsa Barat

1.        Perlawanan terhadap PORTUGIS

A.  Bentuk Perlawanan Rakyat Indonesia Terhadap Penjajahan Bangsa Barat

1.        Perlawanan terhadap PORTUGIS

Kedatangan bangsa Portugis ke Indonesia menjadi ancaman bagi kerajaan-kerajaan di Indonesia. Tidak heran jika sejak awal kedatangannya, terjadi periawanan dari kerajaan-kerajaan di Indonesia terhadap Portugis. Contoh perlawanan kerajaan di Indonesia terhadap Portugis sebagai berikut.

a.         Perlawanan Sultan Baabullah terhadap Portugis Pada tahun 1512





Bangsa Portugis berhasil menemukan kepulauan rempah-rempah, Maluku. Saat itu bangsa Portugis yang dipimpin oleh Antonio de Abreau mendarat di Ternate. Kedatangan Portugis sernula ciiterima dengan balk oleh rakyat Ternate. Bahkan, Sultan Bayanull. (1500-1521) mengizinkan Portugis mendirikan pos dagang di Ternate. Sultan dan rakyat Ternate berharap Portugis dapat menjadi pembeli tetap rempah-rempah dengan harga tinggi. Portugis juga diharapkan dapat membantu Ternate untuk mengalahkan Tidore yang menjadi saingan dalam perdagangan rempah-rempah di Maluku.

Setelah mengetahui Ternate menjadi pusat utama perdagangan rempah-rempah di Maluku, Portugis berniat memonopoli perdagangan rempah-rempah di Ternate. Bahkan, Portugis ikut campur dalam urusan pemerintahan di Ternate. Tindakan Portugis tersebut akhirnya memancing kemarahan rakyat Ternate. Pada masa pemerintahan Sultan Hairun (1534-1570), rakyat Ternate bangkit melakukan perlawanan terhadap Portugis. Sultan Hairun mengobarkan perang mengusir Portugis dari Ternate. Perlawanan itu telah mengancam kedudukan Portugis di Maluku. Keberadaan Aceh dan Demak yang terus mengancam kedudukan Portugis di Malaka telah menyebabkan Portugis di Maluku kesulitan mendapat bantuan. Oleh karena itu, Gubernur Portugis di Maluku, Lopez de Mesquita mengajukan perundingan damai kepada Sultan Hairun. Selanjutnya, Lopez de Mesquita mengundang Sultan Hairun ke benteng Sao Paulo.

Dengan cara tersebut, Sultan Hairun berhasil ditangkap dan dibunuh oleh Lopez de Mesquita. Peristiwa itu semakin memicu kemarahan rakyat. Bahkan, rakyat seluruh Maluku dapat bersatu melawan Portugis. Di bawah kepemimpinan Sultan Baabullah (1570-1583). rakyat menyerang pos-pos perdagangan dan pertahanan Portugis di Maluku. Benteng Sao Paolo dikepung selama lima tahun. Strategi tersebut berhasil mengalahkan Portugis. Pada tahun 1575 Portugis meninggalkan Maluku. Setelah kepergian Portugis, Ternate berkembang menjadi kerajaan Islam terkuat di Maluku.

Sultan Baabullah berhasil membawa Ternate mencapai puncak kejayaan. Wilayah kekuasaan Ternate membentang dari Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Timur di bagian barat hingga Kepulauan Marshall di bagian timur, dari Filipina Selatan di bagian utara hingga Kepulauan Kai dan Nusa Tenggara di bagian selatan. Setiap wilayah atau daerah ditempatkan wakil sultan yang disebut sangaji. Sultan Baabullah selanjutnya dijuluki "penguasa 72 pulau". Pulau-pulau tersebut semuanya berpenghuni dan memiliki raja yang tunduk kepada Sultan Baabullah.

b.         Perlawanan Kerajaan Aceh terhadap Portugis

S. Iakandar Muda

Perlawanan kerajaan Aceh dipimpir, Sultan Ali Mughayat Syah dan dilanjutkan Sultan Iskandar Muda. Perang tersebut disebabkan persaingan antara Kerajaan Aceh dan Portugis dalam memperebutkan jalur perdagangan di Selat Malaka. Usaha Aceh untuk menyingkirkan Portugis dilakukan dengan cars melengkapi kapal dagangnya dengan prajurit dan persenjataan. Selain itu, Aceh menjalin kerja sama dengan Kerajaan Demak dan meminta bantuan persenjataan ke Turki, Inggris, Goa, dan Gujarat. Dalam perang tersebut tidak ada pihak yang menang dan kalah. Perang berakhir setelah pelabuhan Malaka jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1641.


Sultan Iskandar muda




c.         Perlawanan Kerajaan Demak terhadap Portugis

Pati Unus


Pati unus



Untuk menyingkirkan Portugis dari Malaka, Pangeran Sabrang Lor atau Dipati Unus menghimpun dan mengirim pasukan dan Jawa, Makassar, dan Lampung serta bekerja sama dengan Kerajaan Aceh untuk merebut pelabuhan Malaka. Serangan ini gagal karena kalah persenjataan. Bahkan, Dipati Unus tertembak, tetapi masih selamat sampai di Jawa. Untuk menghalangi kekuasaan Portugis atas Jawa, pengganti Dipati Unus. yaitu Sultan Trenggono memperluas kekuasaan ke Jawa Barat dan Jawa Timur

2.        Perlawanan terhadap VOC






Sebagaimana telah diuraikan, setelah bangsa Portugis menguasai beberapa wilayah Nusantara, berdatanganlah kemudian bangsa Belanda. Mereka kemudian saling bersaing dalam perdagangan. Untuk menghindari kerugian dari persaingan itu pada pada tanggal 20 Maret 1602 orang-orang Belanda kemudian membentuk Vereenigde Oost Indische Compagnic (VOC). Dalam perkembangannya VOC berhasil menanamkan kekuasaannya di Indonesia.Keberadaan dan kebijakan VOC ternyata sangat merugikan rakyat Indonesia. Oleh karena itu rakyat Indonesia kemudian mengadakan perlawanan terhadap VOC. Adapun perlawanan rakyat Indonesia terhadap kekuasaan VOC antara lain adalah sebagai berikut.

a.         Perlawanan Kesultanan Mataram

Pada awalnya Mataram dengan Belanda menjalin hubungan baik. Belanda diijinkan mendirikan benteng (loji) untuk kantor dagang di Jepara. Belanda juga memberikan dua meriam terbaik untuk kerajaan Mataram. Dalam perkembangannya, terjadi perselisihan antara Mataram-Belanda. Pada tanggal 8 November 1618 Gubernur Jendral VOC Jan Pieterzoon Coen memerintahkan Van der Marct menyerang Jepara. Peristiwa tersebut yang memperuncing perselisihan antara Mataram dengan Belanda.

Sultan Agung Hanyokrokusumo

Raja Mataram Sultan Agung segera mempersiapkan penyerangan terhadap kedudukan VOC di Batavia. Serangan pertamadilakukan pada tahun 1628. Pasukan Mataram yang dipimpin Tumenggung Baurekso tiba di Batavia tanggal 22 Agustus 1628. pasukan ini kemudian disusul pasukan Tumenggung Sura Agul-Agul, yang dibantu dua bersaudara yakni Kiai Dipati Mandurojo dan Upa Santa. Serangan pertama gagal. Tidak kurang 1000 prajurit Mataram gugur dalam perlawanan tersebut.

Mataram segera mempersiapkan serangan kedua Kali ini pasukan Mataram dipimpin Kyai Adipati Juminah, K.A. Puger, dan K.A. Purbaya. Serangan dimulai tanggal 1 Agustus dan berakhir 1 Oktober 1629. Serangan kedua inipun gagal. Selain karena faktor kelemahan pada serangan pertama, lumbung padi persediaan makanan banyak dihancurkan Belanda. Di samping Sultan Agung, perlawanan terhadap kekuasaan VOC juga dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi dan Mas Said. Serangan pertama ini gagal dikarenakan : Mataram kurang teliti memperhitungkan medan pertempuran, Kekurangan perbekalan, Kalah persenjataan

b.         Perlawanan Keultanan Gowa

Dalam lalu lintas perdagangan Gowa menjadi bandar antara jalur perdagangan Malaka dan Maluku. Sebelum rempah-rempah dari Maluku dibawa sampai ke Malaka, maka singgah dahulu di Gowa, begitu juga sebaliknya. Melihat kedudukan Gowa yang begitu penting, maka VOC ingin sekali menguasai bandar di Gowa. Usaha yang dilakukan antara lain: tahun 1634, VOC melakukan blokade terhadap Pelabuhan Sombaopu. Di samping itu kapal-kapal VOC juga diperintahkan untuk merusak dan menangkap kapal-kapal priburni maupun kapal-kapal asing.Menghadapi. perkembangan yang semakin genting itu, maka raja Gowa, Sultan Hasanuddin mempersiapkan pasukan dengan segala perlengkapan untuk menghadapi VOC. Beberapa kerajaan sekutu Gowa juga disiapkan. Benteng-benteng dibangun di sepanjang pantai kerajaan. Sementara itu VOC dalam rangka menerapkan politik adu domba, telah menjalin hubungan dengan seorang pangeran Bugis, dari Bone bernama La Tenritatta to’Unru yang lebih terkenal dengan nama Arung Palaka.Meletuslah perang antara VOC dengan Gowa pada 7 Juli 1667. Tentara VOC dipimpin Spelman yang diperkuat pengikut Arung Palaka menggempur Gowa. Karena kalah persenjataan, Benteng pertahanan tentara Gowa di Barombang dapat diduduki oleh pasukan Arung Palaka. Perselisihan ini diakhiri dengan ditandatanganinya perjanjian Bongaya yang isinya sebagai berikut.

1)   Gowa harus mengakui hak monopoli.

2)   Semua orang Barat, kecuali Belanda harus meninggalkan wilayah kekuasaan Gowa.

3)   Gowa harus membayar biaya perang.

4)   Di Makasar dibangun benteng-benteng VOC

Pada mulanya perjanjian Bongaya itu tidak ingin dilaksanakan. Bahkan Hasanuddin mengobarkan perlawanan kembali pada bulan April 1668. Namun perlawanan ini pun dapat dipadamkan, sehingga terpaksa isi peanjian Bongaya dilaksanakan. Benteng pertahanan Gowa diserahkan kepada VOC dan oleh Spelman kcmudian diberi nama Benteng Rotterdam.

3.        Perlawanan terhadap Pemerintahan Hindia Belanda



Tokoh perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda


a.         Perang Saparua di Ambon 

Pattimura

Pattimura Merupakan perlawanan rakyat Ambon yang dipimpin Thomas Matulesi (Pattimura). Dalam perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda tersebut, seorang pahlawan wanita bernama Christina Martha Tiahahu melakukan perlawanan dengan gagah berani. Perlawanan Pattimura dapat dikalahkan setelah bantuan pasukan Hindia Belanda dari Jakarta datang. Pattimura bersama tiga pengikutnya ditangkap dan akhirnya dihukum gantung. 

b.         Perang Paderi di Sumatra Barat 

Merupakan perlawanan yang sangat menyita tenaga dan biaya sangat besar bagi rakyat Minang dan Pemerintah Hindia Belanda. Bersatunya Kaum Paderi (ulama) dan kaum adat melawan Pemerintah Hindia Belanda menyebabkan Belanda kewalahan memadamkannya. Bantuan dari Aceh juga datang untuk mendukung pejuang Paderi. Pemerintah Hindia Belanda benar-benar menghadapi musuh yang tangguh. Belanda menerapkan sistem pertahanan Benteng Stelsel. Benteng Fort de Kock di Bukit tinggi dan Benteng Fort van der Cappelen merupakan dua benteng pertahanannya. Dengan siasat tersebut akhirnya Belanda menang ditandai dengan jatuhnya benteng pertahanan terakhir Paderi di Bonjol tahun 1837. Tuanku Imam Bonjol kemudian ditangkap, dan diasingkan ke Priangan, kemudian ke Ambon, dan terakhir di Menado hingga wafat tahun 1864.

c.         Perang Diponegoro 1825-1830 

Perang Diponegoro merupakan salah satu perang besar perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Latar belakang perlawanan Pangeran Diponegoro diawali dari campur tangan Belanda dalam urusan politik Kerajaan Yogyakarta. Beberapa tindakan Belanda yang dianggap melecehkan harga diri dan nilai-nilai budaya masyarakat Yogyakarta menjadi penyebab lain kebencian rakyat kepada Belanda. Pemerintah Hindia Belanda membangun jalan baru pada bulan Mei 1825. Mereka memasang patok-patok pada tanah leluhur Pangeran Diponegoro. Terjadi perselisihan saat pengikut Diponegoro Patih Danureja IV mencabuti patok- patok tersebut.

Pangeran Diponegoro

Belanda segera mengutus serdadu untuk menangkap Pangeran Diponegoro. Perang tidak dapat dihindarkan lagi, pada tanggal 20 Juli Tegalrejo sebagai basis pengikut Diponegoro direbut dan dibakar oleh Belanda. Pada bulan Maret 1830 Diponegoro bersedia mengadakan perundingan dengan Belanda di Magelang, Jawa Tengah. Perundingan tersebut hanyalah tipu muslihat Belanda karena ternyata Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian ke Makasar hingga wafat tahun 1855. Setelah berakhirnya Perang Jawa (Diponegoro), tidak lagi muncul perlawanan yang lebih berat di Jawa.  

d.        Perang Aceh 

Semangat jihad (perang membela agama Islam) merupakan spirit perlawanan rakyat Aceh terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Jendral Kohler terbunuh saat pertempuran di depan masjid Baiturrahman Banda Aceh. Kohler meninggal dekat sebuah pohon yang sekarang diberi nama Pohon Kohler. Siasat konsentrasi stelsel dengan sistem bertahan dalam benteng besar oleh Belanda tidak berhasil dalam perang itu. Belanda semakin terdesak, korban semakin besar, dan keuangan terus terkuras. Snouck Hurgroje Pemerintah Hindia Belanda sama sekali kewalahan dan tidak mampu menghadapi secara fisik perlawanan rakyat Aceh. Menyadari hal tersebut, Belanda mengutus Dr. Snouck Hurgroje yang memakai nama samaran Abdul Gafar (seorang ahli bahasa, sejarah ,dan sosial Islam) untuk mencari kelemahan rakyat Aceh.

Setelah lama belajar di Arab, Snouck Hugronje memberikan saran-saran kepada Belanda mengenai cara mengalahkan orang Aceh. Menurut Hurgronje, Aceh tidak mungkin dilawan dengan kekerasan, sebab karakter orang Aceh adalah pantang menyerah, jiwa jihad orang Aceh sangat tinggi.  Taktik yang paling mujarab adalah dengan mengadu domba antara golongan Uleebalang (bangsawan) dengan ulama. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menjanjikan kedudukan pada Uleebalang yang bersedia damai. Taktik ini berhasil, banyak Uleebalang yang tertarik pada tawaran Belanda. Belanda memberikan tawaran kedudukan kepada para Uleebalang apabila kaum ulama dapat dikalahkan. Sejak tahun 1898 kedudukan Aceh semakin terdesak. Belanda mengumumkan perang Aceh selesai tahun 1904. Namun demikian perlawanan rakyat Aceh secara sporadis masih berlangsung hingga tahun 1930-an.

e.         Perlawanan Sisingamangaraja di Sumatra Utara 

Perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda di Sumatra Utara dipimpin oleh Sisingamangaraja XII, Perlawanan di Sumatra Utara berlangsung cukup lama, yaitu selama 24 tahun. Pertempuran diawali dari Bahal Batu sebagai pusat pertahanan Belanda tahun 1877.  Untuk menghadapi Perang Batak (sebutan perang di Sumatra Utara), Pemerintah Hindia Belanda menarik pasukan dari Aceh. Pasukan Sisingamangaraja dapat dikalahkan setelah Kapten Christoffel berhasil mengepung benteng terakhir Sisingamangaraja di Pakpak. Kedua putra beliau Patuan Nagari dan Patuan Anggi ikut gugur dalam pertempuran tersebut, sehingga seluruh Tapanuli dapat dikuasai Belanda. 

f.          Perang Banjar 

Pangeran Antasari Perang Banjar berawal ketika Pemerintah Hindia Belanda ikut campur tangan dalam urusan pergantian raja di Kerajaan Banjarmasin. Belanda memberi dukungan kepada Pangeran Tamjid Ullah yang tidak disukai oleh rakyat. Pangeran Antasari dengan kekuatan 300 prajurit menyerang tambang batu bara milik Belanda di Pengaron pada tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi peperangan dilakukan oleh Pangeran antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu dengan dibantu para panglima dan prajuritnya yang setia. Pemberontakan dilakukan oleh Prabu Anom dan Pangeran Hidayat. Pada tahun 1859, Pangeran Antasari memimpin perlawanan setelah Prabu Anom tertangkap Belanda, dengan bantuan pasukan dari Belanda, pasukan Pangeran Antasari dapat didesak. Tahun 1862 Pangeran Hidayat menyerah dan berakhirlah perlawanan rakyat Banjar di pulau Kalilmantan. Perlawanan baru benar-benar dapat dipadamkan pada tahun 1866. 

g.         Perang Jagaraga di Bali 

Perang Jagaraga berawal saat Pemerintah Hindia Belanda dan kerajaan di Bali bersengketa tentang hak tawan karang. Hak tawan karang berisi peraturan bahwa setiap kapal yang kandas di perairan Bali merupakan hak penguasa di daerah tersebut. Pemerintah Belanda memprotes Raja Buleleng yang menyita dua kapal milik Belanda. Raja Buleleng tidak mau menerima tuntutan Belanda untuk mengembalikan kedua kapalnya, persengketaan ini menyebabkan Belanda melakukan serangan terhadap kerajaan Buleleng tahun 1846. Belanda berhasil menguasai kerajaan Buleleng, sementara Raja Buleleng menyingkir ke Jagaraga dengan dibantu oleh Kerajaan Karangasem. 

Setelah berhasil merebut Benteng Jagaraga, Pemerintah Hindia Belanda melanjutkan ekspedisi militernya pada tahun 1849. Dua kerajaan Bali, Gianyar dan Klungkung menjadi sasaran Belanda. Tahun 1906, seluruh kerajaan di Bali jatuh ke pihak Pemerintah Hindia Belanda setelah rakyat melakukan perang habis-habisan sampai mati, yang dikenal dengan Perang Puputan. 

h.         Perang Tondano di Sulawesi Utara

Perang Tondano terjadi pada masa penjajahan HIndia Belanda, baik pada masa VOC maupun pada masa Pemerintah Hindia Belanda. Bangsa Spanyol sudah sampai di tanah Minahasa (Tondano) Sulawesi Utara sebelum kedatangan bangsa Belanda. Hubungan dagang orang Minahasa dengan Spanyol terus berkembang. Tetapi mulai abad XVII hubungan dagang antara mereka mulai terganggu dengan kehadiran para pedagang dari Belanda. Waktu itu VOC berhasil menanamkan pengaruhnya di Ternate. VOC berusaha memaksakan kehendak mereka mereka agar orang-orang Minahasa menjual hasil berasnya kepada VOC. Orang-orang Minahasa menentang usaha monopoli dari VOC tersebut. Tidak ada pilihan lain bagi VOC, mereka memilih upaya memerangi orang-orang Minahasa. Untuk melemahkan orang-orang Minahasa, VOC kemudian membendung Sungai Temberan. Akibatnya aliran sungai tersebut meluap dan menggenangi tempat tinggal rakyat dan para pejuang Minahasa. Orang-orang Minahasa kemudian pindah ke Danau Tondano dengan rumah-rumah apung. Perang Tondano terjadi lagi pada abad ke-19.

Perang ini dilatarbelakangi oleh kebijakan Gubernur Jenderal Daendels. Pada kebijakan itu, Minahasa dijatah untuk mengumpulkan calon pasukan sejumlah 2000 orang yang akan dikirim ke Jawa. Orang-orang Minahasa umumnya tidak setuju dengan program Belanda untuk merekrut pemuda-pemuda Minahasa sebagai pasukan kolonial. Banyak di antara para ukung mulai meninggalkan rumah. Mereka justru mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Gubernur Prediger mengirim pasukan untuk menyerang pertahanan orang-orang Minahasa di Tondano-Minawanua. Belanda menerapkan strategi dengan membendung Sungai Temberan lagi. Prediger juga membentuk dua pasukan tangguh. Pasukan pertama dipersiapkan untuk menyerang dari Danau Tondano dan pasukan yang lain menyerang Minawanua dari darat. Tanggal 23 Oktober 1808 pertempuran mulai berlangsung dengan sengit.

Pasukan Hindia Belanda yang berpusat di Danau Tondano berhasil melakukan serangan dan merusak pagar bamu berduri yang membatasi danau dengan perkampungan Minawanua, sehingga menerobos pertahanan orang-orang Minahasa di Minawanua. Karena waktu sudah malam maka para pejuang dengan semangat yang tinggi terus bertahan dan melakukan perlawanan dari rumah ke rumah. Pasukan Belanda merasa kewalahan. Setelah pagi hari tanggal 24 Oktober 1808 pasukan Belanda dari darat membombardir kampung pertahanan Minawanua. Serangan terus dilakukan Belanda sehingga kampung itu seperti tidak ada lagi kehidupan. Pasukan Prediger mulai mengendorkan serangannya. Tiba-tiba dari arah perkampungan itu orang-orang Tondano muncul dan menyerang dengan hebatnya sehingga korbanpun berjatuhan dari pihak Belanda. Pasukan Pemerintah Hindia Belanda kewalahan dan terpaksa ditarik mundur. Seiring dengan itu Sungai Temberan yang dibendung mulai meluap sehingga mempersulit pasukan Belanda sendiri. Dari jarak jauh Belanda terus menghujani meriam ke Kampung Minawanua, tetapi tentu tidak efektif. Begitu juga serangan yang dari danau tidak mampu mematahkan semangat juang orang-orang Tondano-Minawanua. Bahkan terpetikik berita kapal yang paling besar yang di danau tenggelam. Perang Tondano II ini berlangsung cukup lama, sampai bulan Agustus 1809.

Dalam suasana kepenatan dan kekurangan makanan mulai ada kelompok dari pejuang yang mulai memihak kepada Hindia Belanda. Namun dengan kekuatan dan semangat yang ada para pejuang Tondano terus memberikan perlawanan atas gempuran pasukan Belanda yang terus menerus. Akhirnya pada tanggal 4-5 Agustus 1809 Benteng pertahanan Moraya milik para pejuang hancur bersama rakyat yang berusaha mempertahankan. Para pejuang itu memilih mati dari pada menyerah. Mayat-mayat mereka telah lenyap di dasar danau bersama lenyapnya kemerdekaan dan kedaulatan tanah Minahasa.

 

  bangsa Portugis ke Indonesia menjadi ancaman bagi kerajaan-kerajaan di Indonesia. Tidak heran jika sejak awal kedatangannya, terjadi periawanan dari kerajaan-kerajaan di Indonesia terhadap Portugis. Contoh perlawanan kerajaan di Indonesia terhadap Portugis sebagai berikut.

a.         Perlawanan Sultan Baabullah terhadap Portugis Pada tahun 1512

A.  Bentuk Perlawanan Rakyat Indonesia Terhadap Penjajahan Bangsa Barat

1.        Perlawanan terhadap PORTUGIS

Kedatangan bangsa Portugis ke Indonesia menjadi ancaman bagi kerajaan-kerajaan di Indonesia. Tidak heran jika sejak awal kedatangannya, terjadi periawanan dari kerajaan-kerajaan di Indonesia terhadap Portugis. Contoh perlawanan kerajaan di Indonesia terhadap Portugis sebagai berikut.

a.         Perlawanan Sultan Baabullah terhadap Portugis Pada tahun 1512

Bangsa Portugis berhasil menemukan kepulauan rempah-rempah, Maluku. Saat itu bangsa Portugis yang dipimpin oleh Antonio de Abreau mendarat di Ternate. Kedatangan Portugis sernula ciiterima dengan balk oleh rakyat Ternate. Bahkan, Sultan Bayanull. (1500-1521) mengizinkan Portugis mendirikan pos dagang di Ternate. Sultan dan rakyat Ternate berharap Portugis dapat menjadi pembeli tetap rempah-rempah dengan harga tinggi. Portugis juga diharapkan dapat membantu Ternate untuk mengalahkan Tidore yang menjadi saingan dalam perdagangan rempah-rempah di Maluku.

Setelah mengetahui Ternate menjadi pusat utama perdagangan rempah-rempah di Maluku, Portugis berniat memonopoli perdagangan rempah-rempah di Ternate. Bahkan, Portugis ikut campur dalam urusan pemerintahan di Ternate. Tindakan Portugis tersebut akhirnya memancing kemarahan rakyat Ternate. Pada masa pemerintahan Sultan Hairun (1534-1570), rakyat Ternate bangkit melakukan perlawanan terhadap Portugis. Sultan Hairun mengobarkan perang mengusir Portugis dari Ternate. Perlawanan itu telah mengancam kedudukan Portugis di Maluku. Keberadaan Aceh dan Demak yang terus mengancam kedudukan Portugis di Malaka telah menyebabkan Portugis di Maluku kesulitan mendapat bantuan. Oleh karena itu, Gubernur Portugis di Maluku, Lopez de Mesquita mengajukan perundingan damai kepada Sultan Hairun. Selanjutnya, Lopez de Mesquita mengundang Sultan Hairun ke benteng Sao Paulo.

Dengan cara tersebut, Sultan Hairun berhasil ditangkap dan dibunuh oleh Lopez de Mesquita. Peristiwa itu semakin memicu kemarahan rakyat. Bahkan, rakyat seluruh Maluku dapat bersatu melawan Portugis. Di bawah kepemimpinan Sultan Baabullah (1570-1583). rakyat menyerang pos-pos perdagangan dan pertahanan Portugis di Maluku. Benteng Sao Paolo dikepung selama lima tahun. Strategi tersebut berhasil mengalahkan Portugis. Pada tahun 1575 Portugis meninggalkan Maluku. Setelah kepergian Portugis, Ternate berkembang menjadi kerajaan Islam terkuat di Maluku.

Sultan Baabullah berhasil membawa Ternate mencapai puncak kejayaan. Wilayah kekuasaan Ternate membentang dari Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Timur di bagian barat hingga Kepulauan Marshall di bagian timur, dari Filipina Selatan di bagian utara hingga Kepulauan Kai dan Nusa Tenggara di bagian selatan. Setiap wilayah atau daerah ditempatkan wakil sultan yang disebut sangaji. Sultan Baabullah selanjutnya dijuluki "penguasa 72 pulau". Pulau-pulau tersebut semuanya berpenghuni dan memiliki raja yang tunduk kepada Sultan Baabullah.

b.         Perlawanan Kerajaan Aceh terhadap Portugis

S. Iakandar Muda

Perlawanan kerajaan Aceh dipimpir, Sultan Ali Mughayat Syah dan dilanjutkan Sultan Iskandar Muda. Perang tersebut disebabkan persaingan antara Kerajaan Aceh dan Portugis dalam memperebutkan jalur perdagangan di Selat Malaka. Usaha Aceh untuk menyingkirkan Portugis dilakukan dengan cars melengkapi kapal dagangnya dengan prajurit dan persenjataan. Selain itu, Aceh menjalin kerja sama dengan Kerajaan Demak dan meminta bantuan persenjataan ke Turki, Inggris, Goa, dan Gujarat. Dalam perang tersebut tidak ada pihak yang menang dan kalah. Perang berakhir setelah pelabuhan Malaka jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1641.

c.         Perlawanan Kerajaan Demak terhadap Portugis

Pati Unus

Untuk menyingkirkan Portugis dari Malaka, Pangeran Sabrang Lor atau Dipati Unus menghimpun dan mengirim pasukan dan Jawa, Makassar, dan Lampung serta bekerja sama dengan Kerajaan Aceh untuk merebut pelabuhan Malaka. Serangan ini gagal karena kalah persenjataan. Bahkan, Dipati Unus tertembak, tetapi masih selamat sampai di Jawa. Untuk menghalangi kekuasaan Portugis atas Jawa, pengganti Dipati Unus. yaitu Sultan Trenggono memperluas kekuasaan ke Jawa Barat dan Jawa Timur

2.        Perlawanan terhadap VOC

Sebagaimana telah diuraikan, setelah bangsa Portugis menguasai beberapa wilayah Nusantara, berdatanganlah kemudian bangsa Belanda. Mereka kemudian saling bersaing dalam perdagangan. Untuk menghindari kerugian dari persaingan itu pada pada tanggal 20 Maret 1602 orang-orang Belanda kemudian membentuk Vereenigde Oost Indische Compagnic (VOC). Dalam perkembangannya VOC berhasil menanamkan kekuasaannya di Indonesia.Keberadaan dan kebijakan VOC ternyata sangat merugikan rakyat Indonesia. Oleh karena itu rakyat Indonesia kemudian mengadakan perlawanan terhadap VOC. Adapun perlawanan rakyat Indonesia terhadap kekuasaan VOC antara lain adalah sebagai berikut.

a.         Perlawanan Kesultanan Mataram

Pada awalnya Mataram dengan Belanda menjalin hubungan baik. Belanda diijinkan mendirikan benteng (loji) untuk kantor dagang di Jepara. Belanda juga memberikan dua meriam terbaik untuk kerajaan Mataram. Dalam perkembangannya, terjadi perselisihan antara Mataram-Belanda. Pada tanggal 8 November 1618 Gubernur Jendral VOC Jan Pieterzoon Coen memerintahkan Van der Marct menyerang Jepara. Peristiwa tersebut yang memperuncing perselisihan antara Mataram dengan Belanda.

Sultan Agung Hanyokrokusumo

Raja Mataram Sultan Agung segera mempersiapkan penyerangan terhadap kedudukan VOC di Batavia. Serangan pertamadilakukan pada tahun 1628. Pasukan Mataram yang dipimpin Tumenggung Baurekso tiba di Batavia tanggal 22 Agustus 1628. pasukan ini kemudian disusul pasukan Tumenggung Sura Agul-Agul, yang dibantu dua bersaudara yakni Kiai Dipati Mandurojo dan Upa Santa. Serangan pertama gagal. Tidak kurang 1000 prajurit Mataram gugur dalam perlawanan tersebut.

Mataram segera mempersiapkan serangan kedua Kali ini pasukan Mataram dipimpin Kyai Adipati Juminah, K.A. Puger, dan K.A. Purbaya. Serangan dimulai tanggal 1 Agustus dan berakhir 1 Oktober 1629. Serangan kedua inipun gagal. Selain karena faktor kelemahan pada serangan pertama, lumbung padi persediaan makanan banyak dihancurkan Belanda. Di samping Sultan Agung, perlawanan terhadap kekuasaan VOC juga dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi dan Mas Said. Serangan pertama ini gagal dikarenakan : Mataram kurang teliti memperhitungkan medan pertempuran, Kekurangan perbekalan, Kalah persenjataan

b.         Perlawanan Keultanan Gowa

Dalam lalu lintas perdagangan Gowa menjadi bandar antara jalur perdagangan Malaka dan Maluku. Sebelum rempah-rempah dari Maluku dibawa sampai ke Malaka, maka singgah dahulu di Gowa, begitu juga sebaliknya. Melihat kedudukan Gowa yang begitu penting, maka VOC ingin sekali menguasai bandar di Gowa. Usaha yang dilakukan antara lain: tahun 1634, VOC melakukan blokade terhadap Pelabuhan Sombaopu. Di samping itu kapal-kapal VOC juga diperintahkan untuk merusak dan menangkap kapal-kapal priburni maupun kapal-kapal asing.Menghadapi. perkembangan yang semakin genting itu, maka raja Gowa, Sultan Hasanuddin mempersiapkan pasukan dengan segala perlengkapan untuk menghadapi VOC. Beberapa kerajaan sekutu Gowa juga disiapkan. Benteng-benteng dibangun di sepanjang pantai kerajaan. Sementara itu VOC dalam rangka menerapkan politik adu domba, telah menjalin hubungan dengan seorang pangeran Bugis, dari Bone bernama La Tenritatta to’Unru yang lebih terkenal dengan nama Arung Palaka.Meletuslah perang antara VOC dengan Gowa pada 7 Juli 1667. Tentara VOC dipimpin Spelman yang diperkuat pengikut Arung Palaka menggempur Gowa. Karena kalah persenjataan, Benteng pertahanan tentara Gowa di Barombang dapat diduduki oleh pasukan Arung Palaka. Perselisihan ini diakhiri dengan ditandatanganinya perjanjian Bongaya yang isinya sebagai berikut.

1)   Gowa harus mengakui hak monopoli.

2)   Semua orang Barat, kecuali Belanda harus meninggalkan wilayah kekuasaan Gowa.

3)   Gowa harus membayar biaya perang.

4)   Di Makasar dibangun benteng-benteng VOC

Pada mulanya perjanjian Bongaya itu tidak ingin dilaksanakan. Bahkan Hasanuddin mengobarkan perlawanan kembali pada bulan April 1668. Namun perlawanan ini pun dapat dipadamkan, sehingga terpaksa isi peanjian Bongaya dilaksanakan. Benteng pertahanan Gowa diserahkan kepada VOC dan oleh Spelman kcmudian diberi nama Benteng Rotterdam.

3.        Perlawanan terhadap Pemerintahan Hindia Belanda

a.         Perang Saparua di Ambon 

Pattimura

Pattimura Merupakan perlawanan rakyat Ambon yang dipimpin Thomas Matulesi (Pattimura). Dalam perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda tersebut, seorang pahlawan wanita bernama Christina Martha Tiahahu melakukan perlawanan dengan gagah berani. Perlawanan Pattimura dapat dikalahkan setelah bantuan pasukan Hindia Belanda dari Jakarta datang. Pattimura bersama tiga pengikutnya ditangkap dan akhirnya dihukum gantung. 

b.         Perang Paderi di Sumatra Barat 

Merupakan perlawanan yang sangat menyita tenaga dan biaya sangat besar bagi rakyat Minang dan Pemerintah Hindia Belanda. Bersatunya Kaum Paderi (ulama) dan kaum adat melawan Pemerintah Hindia Belanda menyebabkan Belanda kewalahan memadamkannya. Bantuan dari Aceh juga datang untuk mendukung pejuang Paderi. Pemerintah Hindia Belanda benar-benar menghadapi musuh yang tangguh. Belanda menerapkan sistem pertahanan Benteng Stelsel. Benteng Fort de Kock di Bukit tinggi dan Benteng Fort van der Cappelen merupakan dua benteng pertahanannya. Dengan siasat tersebut akhirnya Belanda menang ditandai dengan jatuhnya benteng pertahanan terakhir Paderi di Bonjol tahun 1837. Tuanku Imam Bonjol kemudian ditangkap, dan diasingkan ke Priangan, kemudian ke Ambon, dan terakhir di Menado hingga wafat tahun 1864.

c.         Perang Diponegoro 1825-1830 

Perang Diponegoro merupakan salah satu perang besar perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Latar belakang perlawanan Pangeran Diponegoro diawali dari campur tangan Belanda dalam urusan politik Kerajaan Yogyakarta. Beberapa tindakan Belanda yang dianggap melecehkan harga diri dan nilai-nilai budaya masyarakat Yogyakarta menjadi penyebab lain kebencian rakyat kepada Belanda. Pemerintah Hindia Belanda membangun jalan baru pada bulan Mei 1825. Mereka memasang patok-patok pada tanah leluhur Pangeran Diponegoro. Terjadi perselisihan saat pengikut Diponegoro Patih Danureja IV mencabuti patok- patok tersebut.

Pangeran Diponegoro

Belanda segera mengutus serdadu untuk menangkap Pangeran Diponegoro. Perang tidak dapat dihindarkan lagi, pada tanggal 20 Juli Tegalrejo sebagai basis pengikut Diponegoro direbut dan dibakar oleh Belanda. Pada bulan Maret 1830 Diponegoro bersedia mengadakan perundingan dengan Belanda di Magelang, Jawa Tengah. Perundingan tersebut hanyalah tipu muslihat Belanda karena ternyata Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian ke Makasar hingga wafat tahun 1855. Setelah berakhirnya Perang Jawa (Diponegoro), tidak lagi muncul perlawanan yang lebih berat di Jawa.  

d.        Perang Aceh 

Semangat jihad (perang membela agama Islam) merupakan spirit perlawanan rakyat Aceh terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Jendral Kohler terbunuh saat pertempuran di depan masjid Baiturrahman Banda Aceh. Kohler meninggal dekat sebuah pohon yang sekarang diberi nama Pohon Kohler. Siasat konsentrasi stelsel dengan sistem bertahan dalam benteng besar oleh Belanda tidak berhasil dalam perang itu. Belanda semakin terdesak, korban semakin besar, dan keuangan terus terkuras. Snouck Hurgroje Pemerintah Hindia Belanda sama sekali kewalahan dan tidak mampu menghadapi secara fisik perlawanan rakyat Aceh. Menyadari hal tersebut, Belanda mengutus Dr. Snouck Hurgroje yang memakai nama samaran Abdul Gafar (seorang ahli bahasa, sejarah ,dan sosial Islam) untuk mencari kelemahan rakyat Aceh.

Setelah lama belajar di Arab, Snouck Hugronje memberikan saran-saran kepada Belanda mengenai cara mengalahkan orang Aceh. Menurut Hurgronje, Aceh tidak mungkin dilawan dengan kekerasan, sebab karakter orang Aceh adalah pantang menyerah, jiwa jihad orang Aceh sangat tinggi.  Taktik yang paling mujarab adalah dengan mengadu domba antara golongan Uleebalang (bangsawan) dengan ulama. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menjanjikan kedudukan pada Uleebalang yang bersedia damai. Taktik ini berhasil, banyak Uleebalang yang tertarik pada tawaran Belanda. Belanda memberikan tawaran kedudukan kepada para Uleebalang apabila kaum ulama dapat dikalahkan. Sejak tahun 1898 kedudukan Aceh semakin terdesak. Belanda mengumumkan perang Aceh selesai tahun 1904. Namun demikian perlawanan rakyat Aceh secara sporadis masih berlangsung hingga tahun 1930-an.

e.         Perlawanan Sisingamangaraja di Sumatra Utara 

Perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda di Sumatra Utara dipimpin oleh Sisingamangaraja XII, Perlawanan di Sumatra Utara berlangsung cukup lama, yaitu selama 24 tahun. Pertempuran diawali dari Bahal Batu sebagai pusat pertahanan Belanda tahun 1877.  Untuk menghadapi Perang Batak (sebutan perang di Sumatra Utara), Pemerintah Hindia Belanda menarik pasukan dari Aceh. Pasukan Sisingamangaraja dapat dikalahkan setelah Kapten Christoffel berhasil mengepung benteng terakhir Sisingamangaraja di Pakpak. Kedua putra beliau Patuan Nagari dan Patuan Anggi ikut gugur dalam pertempuran tersebut, sehingga seluruh Tapanuli dapat dikuasai Belanda. 

f.          Perang Banjar 

Pangeran Antasari Perang Banjar berawal ketika Pemerintah Hindia Belanda ikut campur tangan dalam urusan pergantian raja di Kerajaan Banjarmasin. Belanda memberi dukungan kepada Pangeran Tamjid Ullah yang tidak disukai oleh rakyat. Pangeran Antasari dengan kekuatan 300 prajurit menyerang tambang batu bara milik Belanda di Pengaron pada tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi peperangan dilakukan oleh Pangeran antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu dengan dibantu para panglima dan prajuritnya yang setia. Pemberontakan dilakukan oleh Prabu Anom dan Pangeran Hidayat. Pada tahun 1859, Pangeran Antasari memimpin perlawanan setelah Prabu Anom tertangkap Belanda, dengan bantuan pasukan dari Belanda, pasukan Pangeran Antasari dapat didesak. Tahun 1862 Pangeran Hidayat menyerah dan berakhirlah perlawanan rakyat Banjar di pulau Kalilmantan. Perlawanan baru benar-benar dapat dipadamkan pada tahun 1866. 

g.         Perang Jagaraga di Bali 

Perang Jagaraga berawal saat Pemerintah Hindia Belanda dan kerajaan di Bali bersengketa tentang hak tawan karang. Hak tawan karang berisi peraturan bahwa setiap kapal yang kandas di perairan Bali merupakan hak penguasa di daerah tersebut. Pemerintah Belanda memprotes Raja Buleleng yang menyita dua kapal milik Belanda. Raja Buleleng tidak mau menerima tuntutan Belanda untuk mengembalikan kedua kapalnya, persengketaan ini menyebabkan Belanda melakukan serangan terhadap kerajaan Buleleng tahun 1846. Belanda berhasil menguasai kerajaan Buleleng, sementara Raja Buleleng menyingkir ke Jagaraga dengan dibantu oleh Kerajaan Karangasem. 

Setelah berhasil merebut Benteng Jagaraga, Pemerintah Hindia Belanda melanjutkan ekspedisi militernya pada tahun 1849. Dua kerajaan Bali, Gianyar dan Klungkung menjadi sasaran Belanda. Tahun 1906, seluruh kerajaan di Bali jatuh ke pihak Pemerintah Hindia Belanda setelah rakyat melakukan perang habis-habisan sampai mati, yang dikenal dengan Perang Puputan. 

h.         Perang Tondano di Sulawesi Utara

Perang Tondano terjadi pada masa penjajahan HIndia Belanda, baik pada masa VOC maupun pada masa Pemerintah Hindia Belanda. Bangsa Spanyol sudah sampai di tanah Minahasa (Tondano) Sulawesi Utara sebelum kedatangan bangsa Belanda. Hubungan dagang orang Minahasa dengan Spanyol terus berkembang. Tetapi mulai abad XVII hubungan dagang antara mereka mulai terganggu dengan kehadiran para pedagang dari Belanda. Waktu itu VOC berhasil menanamkan pengaruhnya di Ternate. VOC berusaha memaksakan kehendak mereka mereka agar orang-orang Minahasa menjual hasil berasnya kepada VOC. Orang-orang Minahasa menentang usaha monopoli dari VOC tersebut. Tidak ada pilihan lain bagi VOC, mereka memilih upaya memerangi orang-orang Minahasa. Untuk melemahkan orang-orang Minahasa, VOC kemudian membendung Sungai Temberan. Akibatnya aliran sungai tersebut meluap dan menggenangi tempat tinggal rakyat dan para pejuang Minahasa. Orang-orang Minahasa kemudian pindah ke Danau Tondano dengan rumah-rumah apung. Perang Tondano terjadi lagi pada abad ke-19.

Perang ini dilatarbelakangi oleh kebijakan Gubernur Jenderal Daendels. Pada kebijakan itu, Minahasa dijatah untuk mengumpulkan calon pasukan sejumlah 2000 orang yang akan dikirim ke Jawa. Orang-orang Minahasa umumnya tidak setuju dengan program Belanda untuk merekrut pemuda-pemuda Minahasa sebagai pasukan kolonial. Banyak di antara para ukung mulai meninggalkan rumah. Mereka justru mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Gubernur Prediger mengirim pasukan untuk menyerang pertahanan orang-orang Minahasa di Tondano-Minawanua. Belanda menerapkan strategi dengan membendung Sungai Temberan lagi. Prediger juga membentuk dua pasukan tangguh. Pasukan pertama dipersiapkan untuk menyerang dari Danau Tondano dan pasukan yang lain menyerang Minawanua dari darat. Tanggal 23 Oktober 1808 pertempuran mulai berlangsung dengan sengit.

Pasukan Hindia Belanda yang berpusat di Danau Tondano berhasil melakukan serangan dan merusak pagar bamu berduri yang membatasi danau dengan perkampungan Minawanua, sehingga menerobos pertahanan orang-orang Minahasa di Minawanua. Karena waktu sudah malam maka para pejuang dengan semangat yang tinggi terus bertahan dan melakukan perlawanan dari rumah ke rumah. Pasukan Belanda merasa kewalahan. Setelah pagi hari tanggal 24 Oktober 1808 pasukan Belanda dari darat membombardir kampung pertahanan Minawanua. Serangan terus dilakukan Belanda sehingga kampung itu seperti tidak ada lagi kehidupan. Pasukan Prediger mulai mengendorkan serangannya. Tiba-tiba dari arah perkampungan itu orang-orang Tondano muncul dan menyerang dengan hebatnya sehingga korbanpun berjatuhan dari pihak Belanda. Pasukan Pemerintah Hindia Belanda kewalahan dan terpaksa ditarik mundur. Seiring dengan itu Sungai Temberan yang dibendung mulai meluap sehingga mempersulit pasukan Belanda sendiri. Dari jarak jauh Belanda terus menghujani meriam ke Kampung Minawanua, tetapi tentu tidak efektif. Begitu juga serangan yang dari danau tidak mampu mematahkan semangat juang orang-orang Tondano-Minawanua. Bahkan terpetikik berita kapal yang paling besar yang di danau tenggelam. Perang Tondano II ini berlangsung cukup lama, sampai bulan Agustus 1809.

Dalam suasana kepenatan dan kekurangan makanan mulai ada kelompok dari pejuang yang mulai memihak kepada Hindia Belanda. Namun dengan kekuatan dan semangat yang ada para pejuang Tondano terus memberikan perlawanan atas gempuran pasukan Belanda yang terus menerus. Akhirnya pada tanggal 4-5 Agustus 1809 Benteng pertahanan Moraya milik para pejuang hancur bersama rakyat yang berusaha mempertahankan. Para pejuang itu memilih mati dari pada menyerah. Mayat-mayat mereka telah lenyap di dasar danau bersama lenyapnya kemerdekaan dan kedaulatan tanah Minahasa.

 

 

Bangsa Portugis berhasil menemukan kepulauan rempah-rempah, Maluku. Saat itu bangsa Portugis yang dipimpin oleh Antonio de Abreau mendarat di Ternate. Kedatangan Portugis sernula ciiterima dengan balk oleh rakyat Ternate. Bahkan, Sultan Bayanull. (1500-1521) mengizinkan Portugis mendirikan pos dagang di Ternate. Sultan dan rakyat Ternate berharap Portugis dapat menjadi pembeli tetap rempah-rempah dengan harga tinggi. Portugis juga diharapkan dapat membantu Ternate untuk mengalahkan Tidore yang menjadi saingan dalam perdagangan rempah-rempah di Maluku.

Setelah mengetahui Ternate menjadi pusat utama perdagangan rempah-rempah di Maluku, Portugis berniat memonopoli perdagangan rempah-rempah di Ternate. Bahkan, Portugis ikut campur dalam urusan pemerintahan di Ternate. Tindakan Portugis tersebut akhirnya memancing kemarahan rakyat Ternate. Pada masa pemerintahan Sultan Hairun (1534-1570), rakyat Ternate bangkit melakukan perlawanan terhadap Portugis. Sultan Hairun mengobarkan perang mengusir Portugis dari Ternate. Perlawanan itu telah mengancam kedudukan Portugis di Maluku. Keberadaan Aceh dan Demak yang terus mengancam kedudukan Portugis di Malaka telah menyebabkan Portugis di Maluku kesulitan mendapat bantuan. Oleh karena itu, Gubernur Portugis di Maluku, Lopez de Mesquita mengajukan perundingan damai kepada Sultan Hairun. Selanjutnya, Lopez de Mesquita mengundang Sultan Hairun ke benteng Sao Paulo.

Dengan cara tersebut, Sultan Hairun berhasil ditangkap dan dibunuh oleh Lopez de Mesquita. Peristiwa itu semakin memicu kemarahan rakyat. Bahkan, rakyat seluruh Maluku dapat bersatu melawan Portugis. Di bawah kepemimpinan Sultan Baabullah (1570-1583). rakyat menyerang pos-pos perdagangan dan pertahanan Portugis di Maluku. Benteng Sao Paolo dikepung selama lima tahun. Strategi tersebut berhasil mengalahkan Portugis. Pada tahun 1575 Portugis meninggalkan Maluku. Setelah kepergian Portugis, Ternate berkembang menjadi kerajaan Islam terkuat di Maluku.

Sultan Baabullah berhasil membawa Ternate mencapai puncak kejayaan. Wilayah kekuasaan Ternate membentang dari Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Timur di bagian barat hingga Kepulauan Marshall di bagian timur, dari Filipina Selatan di bagian utara hingga Kepulauan Kai dan Nusa Tenggara di bagian selatan. Setiap wilayah atau daerah ditempatkan wakil sultan yang disebut sangaji. Sultan Baabullah selanjutnya dijuluki "penguasa 72 pulau". Pulau-pulau tersebut semuanya berpenghuni dan memiliki raja yang tunduk kepada Sultan Baabullah.

b.         Perlawanan Kerajaan Aceh terhadap Portugis

S. Iakandar Muda

Perlawanan kerajaan Aceh dipimpir, Sultan Ali Mughayat Syah dan dilanjutkan Sultan Iskandar Muda. Perang tersebut disebabkan persaingan antara Kerajaan Aceh dan Portugis dalam memperebutkan jalur perdagangan di Selat Malaka. Usaha Aceh untuk menyingkirkan Portugis dilakukan dengan cars melengkapi kapal dagangnya dengan prajurit dan persenjataan. Selain itu, Aceh menjalin kerja sama dengan Kerajaan Demak dan meminta bantuan persenjataan ke Turki, Inggris, Goa, dan Gujarat. Dalam perang tersebut tidak ada pihak yang menang dan kalah. Perang berakhir setelah pelabuhan Malaka jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1641.

c.         Perlawanan Kerajaan Demak terhadap Portugis

Pati Unus

Untuk menyingkirkan Portugis dari Malaka, Pangeran Sabrang Lor atau Dipati Unus menghimpun dan mengirim pasukan dan Jawa, Makassar, dan Lampung serta bekerja sama dengan Kerajaan Aceh untuk merebut pelabuhan Malaka. Serangan ini gagal karena kalah persenjataan. Bahkan, Dipati Unus tertembak, tetapi masih selamat sampai di Jawa. Untuk menghalangi kekuasaan Portugis atas Jawa, pengganti Dipati Unus. yaitu Sultan Trenggono memperluas kekuasaan ke Jawa Barat dan Jawa Timur

2.        Perlawanan terhadap VOC

Sebagaimana telah diuraikan, setelah bangsa Portugis menguasai beberapa wilayah Nusantara, berdatanganlah kemudian bangsa Belanda. Mereka kemudian saling bersaing dalam perdagangan. Untuk menghindari kerugian dari persaingan itu pada pada tanggal 20 Maret 1602 orang-orang Belanda kemudian membentuk Vereenigde Oost Indische Compagnic (VOC). Dalam perkembangannya VOC berhasil menanamkan kekuasaannya di Indonesia.Keberadaan dan kebijakan VOC ternyata sangat merugikan rakyat Indonesia. Oleh karena itu rakyat Indonesia kemudian mengadakan perlawanan terhadap VOC. Adapun perlawanan rakyat Indonesia terhadap kekuasaan VOC antara lain adalah sebagai berikut.

a.         Perlawanan Kesultanan Mataram

Pada awalnya Mataram dengan Belanda menjalin hubungan baik. Belanda diijinkan mendirikan benteng (loji) untuk kantor dagang di Jepara. Belanda juga memberikan dua meriam terbaik untuk kerajaan Mataram. Dalam perkembangannya, terjadi perselisihan antara Mataram-Belanda. Pada tanggal 8 November 1618 Gubernur Jendral VOC Jan Pieterzoon Coen memerintahkan Van der Marct menyerang Jepara. Peristiwa tersebut yang memperuncing perselisihan antara Mataram dengan Belanda.

Sultan Agung Hanyokrokusumo

Raja Mataram Sultan Agung segera mempersiapkan penyerangan terhadap kedudukan VOC di Batavia. Serangan pertamadilakukan pada tahun 1628. Pasukan Mataram yang dipimpin Tumenggung Baurekso tiba di Batavia tanggal 22 Agustus 1628. pasukan ini kemudian disusul pasukan Tumenggung Sura Agul-Agul, yang dibantu dua bersaudara yakni Kiai Dipati Mandurojo dan Upa Santa. Serangan pertama gagal. Tidak kurang 1000 prajurit Mataram gugur dalam perlawanan tersebut.

Mataram segera mempersiapkan serangan kedua Kali ini pasukan Mataram dipimpin Kyai Adipati Juminah, K.A. Puger, dan K.A. Purbaya. Serangan dimulai tanggal 1 Agustus dan berakhir 1 Oktober 1629. Serangan kedua inipun gagal. Selain karena faktor kelemahan pada serangan pertama, lumbung padi persediaan makanan banyak dihancurkan Belanda. Di samping Sultan Agung, perlawanan terhadap kekuasaan VOC juga dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi dan Mas Said. Serangan pertama ini gagal dikarenakan : Mataram kurang teliti memperhitungkan medan pertempuran, Kekurangan perbekalan, Kalah persenjataan

b.         Perlawanan Keultanan Gowa

Dalam lalu lintas perdagangan Gowa menjadi bandar antara jalur perdagangan Malaka dan Maluku. Sebelum rempah-rempah dari Maluku dibawa sampai ke Malaka, maka singgah dahulu di Gowa, begitu juga sebaliknya. Melihat kedudukan Gowa yang begitu penting, maka VOC ingin sekali menguasai bandar di Gowa. Usaha yang dilakukan antara lain: tahun 1634, VOC melakukan blokade terhadap Pelabuhan Sombaopu. Di samping itu kapal-kapal VOC juga diperintahkan untuk merusak dan menangkap kapal-kapal priburni maupun kapal-kapal asing.Menghadapi. perkembangan yang semakin genting itu, maka raja Gowa, Sultan Hasanuddin mempersiapkan pasukan dengan segala perlengkapan untuk menghadapi VOC. Beberapa kerajaan sekutu Gowa juga disiapkan. Benteng-benteng dibangun di sepanjang pantai kerajaan. Sementara itu VOC dalam rangka menerapkan politik adu domba, telah menjalin hubungan dengan seorang pangeran Bugis, dari Bone bernama La Tenritatta to’Unru yang lebih terkenal dengan nama Arung Palaka.Meletuslah perang antara VOC dengan Gowa pada 7 Juli 1667. Tentara VOC dipimpin Spelman yang diperkuat pengikut Arung Palaka menggempur Gowa. Karena kalah persenjataan, Benteng pertahanan tentara Gowa di Barombang dapat diduduki oleh pasukan Arung Palaka. Perselisihan ini diakhiri dengan ditandatanganinya perjanjian Bongaya yang isinya sebagai berikut.

1)   Gowa harus mengakui hak monopoli.

2)   Semua orang Barat, kecuali Belanda harus meninggalkan wilayah kekuasaan Gowa.

3)   Gowa harus membayar biaya perang.

4)   Di Makasar dibangun benteng-benteng VOC

Pada mulanya perjanjian Bongaya itu tidak ingin dilaksanakan. Bahkan Hasanuddin mengobarkan perlawanan kembali pada bulan April 1668. Namun perlawanan ini pun dapat dipadamkan, sehingga terpaksa isi peanjian Bongaya dilaksanakan. Benteng pertahanan Gowa diserahkan kepada VOC dan oleh Spelman kcmudian diberi nama Benteng Rotterdam.

3.        Perlawanan terhadap Pemerintahan Hindia Belanda

a.         Perang Saparua di Ambon 

Pattimura

Pattimura Merupakan perlawanan rakyat Ambon yang dipimpin Thomas Matulesi (Pattimura). Dalam perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda tersebut, seorang pahlawan wanita bernama Christina Martha Tiahahu melakukan perlawanan dengan gagah berani. Perlawanan Pattimura dapat dikalahkan setelah bantuan pasukan Hindia Belanda dari Jakarta datang. Pattimura bersama tiga pengikutnya ditangkap dan akhirnya dihukum gantung. 

b.         Perang Paderi di Sumatra Barat 

Merupakan perlawanan yang sangat menyita tenaga dan biaya sangat besar bagi rakyat Minang dan Pemerintah Hindia Belanda. Bersatunya Kaum Paderi (ulama) dan kaum adat melawan Pemerintah Hindia Belanda menyebabkan Belanda kewalahan memadamkannya. Bantuan dari Aceh juga datang untuk mendukung pejuang Paderi. Pemerintah Hindia Belanda benar-benar menghadapi musuh yang tangguh. Belanda menerapkan sistem pertahanan Benteng Stelsel. Benteng Fort de Kock di Bukit tinggi dan Benteng Fort van der Cappelen merupakan dua benteng pertahanannya. Dengan siasat tersebut akhirnya Belanda menang ditandai dengan jatuhnya benteng pertahanan terakhir Paderi di Bonjol tahun 1837. Tuanku Imam Bonjol kemudian ditangkap, dan diasingkan ke Priangan, kemudian ke Ambon, dan terakhir di Menado hingga wafat tahun 1864.

c.         Perang Diponegoro 1825-1830 

Perang Diponegoro merupakan salah satu perang besar perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Latar belakang perlawanan Pangeran Diponegoro diawali dari campur tangan Belanda dalam urusan politik Kerajaan Yogyakarta. Beberapa tindakan Belanda yang dianggap melecehkan harga diri dan nilai-nilai budaya masyarakat Yogyakarta menjadi penyebab lain kebencian rakyat kepada Belanda. Pemerintah Hindia Belanda membangun jalan baru pada bulan Mei 1825. Mereka memasang patok-patok pada tanah leluhur Pangeran Diponegoro. Terjadi perselisihan saat pengikut Diponegoro Patih Danureja IV mencabuti patok- patok tersebut.

Pangeran Diponegoro

Belanda segera mengutus serdadu untuk menangkap Pangeran Diponegoro. Perang tidak dapat dihindarkan lagi, pada tanggal 20 Juli Tegalrejo sebagai basis pengikut Diponegoro direbut dan dibakar oleh Belanda. Pada bulan Maret 1830 Diponegoro bersedia mengadakan perundingan dengan Belanda di Magelang, Jawa Tengah. Perundingan tersebut hanyalah tipu muslihat Belanda karena ternyata Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian ke Makasar hingga wafat tahun 1855. Setelah berakhirnya Perang Jawa (Diponegoro), tidak lagi muncul perlawanan yang lebih berat di Jawa.  

d.        Perang Aceh 

Semangat jihad (perang membela agama Islam) merupakan spirit perlawanan rakyat Aceh terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Jendral Kohler terbunuh saat pertempuran di depan masjid Baiturrahman Banda Aceh. Kohler meninggal dekat sebuah pohon yang sekarang diberi nama Pohon Kohler. Siasat konsentrasi stelsel dengan sistem bertahan dalam benteng besar oleh Belanda tidak berhasil dalam perang itu. Belanda semakin terdesak, korban semakin besar, dan keuangan terus terkuras. Snouck Hurgroje Pemerintah Hindia Belanda sama sekali kewalahan dan tidak mampu menghadapi secara fisik perlawanan rakyat Aceh. Menyadari hal tersebut, Belanda mengutus Dr. Snouck Hurgroje yang memakai nama samaran Abdul Gafar (seorang ahli bahasa, sejarah ,dan sosial Islam) untuk mencari kelemahan rakyat Aceh.

Setelah lama belajar di Arab, Snouck Hugronje memberikan saran-saran kepada Belanda mengenai cara mengalahkan orang Aceh. Menurut Hurgronje, Aceh tidak mungkin dilawan dengan kekerasan, sebab karakter orang Aceh adalah pantang menyerah, jiwa jihad orang Aceh sangat tinggi.  Taktik yang paling mujarab adalah dengan mengadu domba antara golongan Uleebalang (bangsawan) dengan ulama. Pemerintah Hindia Belanda kemudian menjanjikan kedudukan pada Uleebalang yang bersedia damai. Taktik ini berhasil, banyak Uleebalang yang tertarik pada tawaran Belanda. Belanda memberikan tawaran kedudukan kepada para Uleebalang apabila kaum ulama dapat dikalahkan. Sejak tahun 1898 kedudukan Aceh semakin terdesak. Belanda mengumumkan perang Aceh selesai tahun 1904. Namun demikian perlawanan rakyat Aceh secara sporadis masih berlangsung hingga tahun 1930-an.

e.         Perlawanan Sisingamangaraja di Sumatra Utara 

Perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda di Sumatra Utara dipimpin oleh Sisingamangaraja XII, Perlawanan di Sumatra Utara berlangsung cukup lama, yaitu selama 24 tahun. Pertempuran diawali dari Bahal Batu sebagai pusat pertahanan Belanda tahun 1877.  Untuk menghadapi Perang Batak (sebutan perang di Sumatra Utara), Pemerintah Hindia Belanda menarik pasukan dari Aceh. Pasukan Sisingamangaraja dapat dikalahkan setelah Kapten Christoffel berhasil mengepung benteng terakhir Sisingamangaraja di Pakpak. Kedua putra beliau Patuan Nagari dan Patuan Anggi ikut gugur dalam pertempuran tersebut, sehingga seluruh Tapanuli dapat dikuasai Belanda. 

f.          Perang Banjar 

Pangeran Antasari Perang Banjar berawal ketika Pemerintah Hindia Belanda ikut campur tangan dalam urusan pergantian raja di Kerajaan Banjarmasin. Belanda memberi dukungan kepada Pangeran Tamjid Ullah yang tidak disukai oleh rakyat. Pangeran Antasari dengan kekuatan 300 prajurit menyerang tambang batu bara milik Belanda di Pengaron pada tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi peperangan dilakukan oleh Pangeran antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu dengan dibantu para panglima dan prajuritnya yang setia. Pemberontakan dilakukan oleh Prabu Anom dan Pangeran Hidayat. Pada tahun 1859, Pangeran Antasari memimpin perlawanan setelah Prabu Anom tertangkap Belanda, dengan bantuan pasukan dari Belanda, pasukan Pangeran Antasari dapat didesak. Tahun 1862 Pangeran Hidayat menyerah dan berakhirlah perlawanan rakyat Banjar di pulau Kalilmantan. Perlawanan baru benar-benar dapat dipadamkan pada tahun 1866. 

g.         Perang Jagaraga di Bali 

Perang Jagaraga berawal saat Pemerintah Hindia Belanda dan kerajaan di Bali bersengketa tentang hak tawan karang. Hak tawan karang berisi peraturan bahwa setiap kapal yang kandas di perairan Bali merupakan hak penguasa di daerah tersebut. Pemerintah Belanda memprotes Raja Buleleng yang menyita dua kapal milik Belanda. Raja Buleleng tidak mau menerima tuntutan Belanda untuk mengembalikan kedua kapalnya, persengketaan ini menyebabkan Belanda melakukan serangan terhadap kerajaan Buleleng tahun 1846. Belanda berhasil menguasai kerajaan Buleleng, sementara Raja Buleleng menyingkir ke Jagaraga dengan dibantu oleh Kerajaan Karangasem. 

Setelah berhasil merebut Benteng Jagaraga, Pemerintah Hindia Belanda melanjutkan ekspedisi militernya pada tahun 1849. Dua kerajaan Bali, Gianyar dan Klungkung menjadi sasaran Belanda. Tahun 1906, seluruh kerajaan di Bali jatuh ke pihak Pemerintah Hindia Belanda setelah rakyat melakukan perang habis-habisan sampai mati, yang dikenal dengan Perang Puputan. 

h.         Perang Tondano di Sulawesi Utara

Perang Tondano terjadi pada masa penjajahan HIndia Belanda, baik pada masa VOC maupun pada masa Pemerintah Hindia Belanda. Bangsa Spanyol sudah sampai di tanah Minahasa (Tondano) Sulawesi Utara sebelum kedatangan bangsa Belanda. Hubungan dagang orang Minahasa dengan Spanyol terus berkembang. Tetapi mulai abad XVII hubungan dagang antara mereka mulai terganggu dengan kehadiran para pedagang dari Belanda. Waktu itu VOC berhasil menanamkan pengaruhnya di Ternate. VOC berusaha memaksakan kehendak mereka mereka agar orang-orang Minahasa menjual hasil berasnya kepada VOC. Orang-orang Minahasa menentang usaha monopoli dari VOC tersebut. Tidak ada pilihan lain bagi VOC, mereka memilih upaya memerangi orang-orang Minahasa. Untuk melemahkan orang-orang Minahasa, VOC kemudian membendung Sungai Temberan. Akibatnya aliran sungai tersebut meluap dan menggenangi tempat tinggal rakyat dan para pejuang Minahasa. Orang-orang Minahasa kemudian pindah ke Danau Tondano dengan rumah-rumah apung. Perang Tondano terjadi lagi pada abad ke-19.

Perang ini dilatarbelakangi oleh kebijakan Gubernur Jenderal Daendels. Pada kebijakan itu, Minahasa dijatah untuk mengumpulkan calon pasukan sejumlah 2000 orang yang akan dikirim ke Jawa. Orang-orang Minahasa umumnya tidak setuju dengan program Belanda untuk merekrut pemuda-pemuda Minahasa sebagai pasukan kolonial. Banyak di antara para ukung mulai meninggalkan rumah. Mereka justru mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Gubernur Prediger mengirim pasukan untuk menyerang pertahanan orang-orang Minahasa di Tondano-Minawanua. Belanda menerapkan strategi dengan membendung Sungai Temberan lagi. Prediger juga membentuk dua pasukan tangguh. Pasukan pertama dipersiapkan untuk menyerang dari Danau Tondano dan pasukan yang lain menyerang Minawanua dari darat. Tanggal 23 Oktober 1808 pertempuran mulai berlangsung dengan sengit.

Pasukan Hindia Belanda yang berpusat di Danau Tondano berhasil melakukan serangan dan merusak pagar bamu berduri yang membatasi danau dengan perkampungan Minawanua, sehingga menerobos pertahanan orang-orang Minahasa di Minawanua. Karena waktu sudah malam maka para pejuang dengan semangat yang tinggi terus bertahan dan melakukan perlawanan dari rumah ke rumah. Pasukan Belanda merasa kewalahan. Setelah pagi hari tanggal 24 Oktober 1808 pasukan Belanda dari darat membombardir kampung pertahanan Minawanua. Serangan terus dilakukan Belanda sehingga kampung itu seperti tidak ada lagi kehidupan. Pasukan Prediger mulai mengendorkan serangannya. Tiba-tiba dari arah perkampungan itu orang-orang Tondano muncul dan menyerang dengan hebatnya sehingga korbanpun berjatuhan dari pihak Belanda. Pasukan Pemerintah Hindia Belanda kewalahan dan terpaksa ditarik mundur. Seiring dengan itu Sungai Temberan yang dibendung mulai meluap sehingga mempersulit pasukan Belanda sendiri. Dari jarak jauh Belanda terus menghujani meriam ke Kampung Minawanua, tetapi tentu tidak efektif. Begitu juga serangan yang dari danau tidak mampu mematahkan semangat juang orang-orang Tondano-Minawanua. Bahkan terpetikik berita kapal yang paling besar yang di danau tenggelam. Perang Tondano II ini berlangsung cukup lama, sampai bulan Agustus 1809.

Dalam suasana kepenatan dan kekurangan makanan mulai ada kelompok dari pejuang yang mulai memihak kepada Hindia Belanda. Namun dengan kekuatan dan semangat yang ada para pejuang Tondano terus memberikan perlawanan atas gempuran pasukan Belanda yang terus menerus. Akhirnya pada tanggal 4-5 Agustus 1809 Benteng pertahanan Moraya milik para pejuang hancur bersama rakyat yang berusaha mempertahankan. Para pejuang itu memilih mati dari pada menyerah. Mayat-mayat mereka telah lenyap di dasar danau bersama lenyapnya kemerdekaan dan kedaulatan tanah Minahasa.


Semoga Bermanfaat - Chusnul Chotimah
(Pengajar Sejarah di MAN 2 Kebumen)