Subscribe Channel MAN 2 Kebumen

Subscribe and stay connect with us!!

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

ORGANISASI PERGERAKAN NASIONAL

 ORGANISASI PERGERAKAN NASIONAL

5.    Gerakan Pemuda

Gerakan pemuda Indonesia, sebenarnya telah dimulai sejak berdirinya Budi Utomo, namun sejak kongresnya yang pertama perannya telah diambil oleh golongan tua (kaum priayi dan pegawai negeri) sehingga para pemuda kecewa dan keluar dari organisasi tersebut. Baru beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 7 Maret 1915 di Batavia berdiri Trikoro Dharmo oleh R. Satiman Wiryosanjoyo, Kadarman, dan Sunardi.  Trikoro Dharmo yang diketui oleh R. Satiman Wiryosanjoyo merupakan oeganisasi pemuda yang pertama yang anggotanya terdiri atas para siswa sekolah menengah berasal dari Jawa dan Madura. Trikoro Dharmo, artinya tiga tujuan mulia, yakni sakti, budi, dan bakti. Tujuan perkumpulan ini adalah sebagai berikut:

·      Mempererat tali persaudaraan antar siswa-siswi bumi putra pada sekolah menengah dan perguruan kejuruan;

·      Menambah pengetahuan umum bagi para anggotanya;

·      Membangkitkan dan mempertajam peranan untuk segala bahasa dan budaya.

Tujuan tersebut sebenarnya baru merupakan tujuan perantara. Adapun tujuan yang sebenarnya adalah seperti apa yang termuat dalam majalah Trikoro Dharmo yakni mencapai Jawa raya dengan jalan memperkokoh rasa persatuan antara pemuda-pemuda Jawa, Sunda, Madura, Bali, dan Lombok. Oleh karena sifatnya yang masih Jawa sentris maka para pemuda di luar Jawa (tidak berbudaya Jawa) kurang senang.  Untuk menghindari perpecahan, pada kongresnya di Solo pada tanggal 12 Juni 1918 namanya diubah menjadi Jong Java (Pemuda Jawa). Sesuai dengan anggaran dasarnya, Jong Java ini bertujuan untuk mendidik para anggotanya supaya kelak dapat menyumbangkan tenaganya untuk membangun Jawa raya dengan jalan mempererat persatuan, menambah pengetahuan, dan rasa cinta pada budaya sendiri.

Sejalan dengan munculnya Jong Java, pemuda-pemuda di daerah lain juga membentuk organisasi-organisasi, seperti Jong Sumatra Bond, Pasundan, Jong Minahasa, Jong Ambon, Jong Selebes, Jong Batak, Pemuda Kaum Betawi, Sekar Rukun, Timorees Verbond, dan lain-lain. Pada dasarnya semua organisasi itu masih bersifat kedaerahan, tetapi semuanya mempunyai cita-cita ke arah kemajuan Indonesia, khususnya memajukan budaya dan daerah masing-masing.

6.    Taman Siswa

Sekembalinya dari tanah pengasingannya di Negeri Belanda (1919), Suwardi Suryaningrat menfokuskan perjuangannya dalam bidang pendidikan. Pada tanggal 3 Juli 1922 Suwardi Suryaningrat (lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara) berhasil mendirikan perguruan Taman Siswa di Yogyakarta. Dengan berdirinya Taman Siswa, Suwardi Suryaningrat memulai gerakan baru bukan lagi dalam bidang politik melainkan bidang pendidikan, yakni mendidik angkatan muda dengan jiwa kebangsaan Indonesia berdasarkan akar budaya bangsa. Sekolah Taman Siswa dijadikan sarana untuk menyampaikan ideologi nasionalisme kebudayaan, perkembangan politik, dan juga digunakan untuk mendidik calon-calon pemimpin bangsa yang akan datang. 

Dalam hal ini, sekolah merupakan wahana untuk meningkatkan derajat bangsa melalui pengajaran itu sendiri. Selain pengajaran bahasa (baik bahasa asing maupun bahasa Indonesia), pendidikan Taman Siswa juga memberikan pelajaran sejarah, seni, sastra (terutama sastra Jawa dan wayang), agama, pendidikan jasmani, dan keterampilan (pekerjaan tangan) merupakan kegiatan utama perguruan Taman Siswa.

Penididikan Taman Siswa dilakukan dengan sistem "among" dengan pola belajar "asah, asih dan asuh". Dalam hal ini diwajibkan bagi para guru untuk bersikap dan berlaku "sebagai pemimpin" yakni di depan memberi contoh, di tengah dapat memberikan motivasi, dan di belakang dapat memberikan pengawasan yang berpengaruh. Prinsip pengajaran inilah yang kemudian dikenal dengan pola kepemimpinan "Ing ngarsa sung tulodho, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani ". Pola kepemimpinan ini sampai sekarang masih menjadi ciri kepemimpinan nasional.

Berkat jasa dan perjuangannya yakni mencerdaskan kehidupan menuju Indonesia merdeka maka tanggal 2 Mei (hari kelahiran Ki Hajar Dewantara) ditetapkant sebagai hari Pendidikan Nasional. Di samping itu, "Tut Wuri Handayani" sebagai semboyan terpatri dalam lambang Departemen Pendidikan Nasional.

7.    Partai Komunis Indonesia (PKI)

Benih-benih paham Marxis dibawa masuk ke Indonesia oleh seorang Belanda yang bernama H.J.F.M. Sneevliet. Atas dasar Marxisme inilah kemudian pada tanggal 9 Mei 1914 di Semarang, Sneevliet bersama-sama dengan J.A. Brandsteder, H.W. Dekker, dan P. Bersgma berhasil mendirikan Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV). Ternyata ISDV tidak dapat berkembang sehingga Sneevliet melakukan infiltrasi (penyusupan) kader-kadernya ke dalam tubuh SI dengan menjadikan anggota-anggota ISDV sebagai anggota SI, dan sebaliknya anggota-anggota SI menjadi anggota ISDV.

Dengan cara itu Sneevliet dan kawan-kawannya telah mempunyai pengaruh yang kuat di kalangan SI, lebih-lebih setelah berhasil mengambil alih beberapa pemimpin SI, seperti Semaun dan Darsono. Mereka inilah yang dididik secara khusus untuk menjadi tokoh-tokoh Marxisme tulen. Akibatnya SI Cabang Semarang yang sudah berada di bawah pengaruh ISDV semakin jelas warna Marxisnya dan selanjutnya terjadilah perpecahan dalam tubuh SI.

Pada tanggal 23 Mei 1923 ISDV diubah menjadi Partai Komunis Hindia dan selanjutnya pada bulan Desember 1920 menjadi Partai Komunis Indonesia. (PKI). Susunan pengurus PKI , antara lain Semaun (ketua), Darsono (wakil ketua), Bersgma (sekretaris), dan Dekker (bendahara).

PKI semakin aktif dalam percaturan politik dan untuk menarik massa maka dalam propagandanya PKI menghalalkan secara cara. Sampai-sampai tidak segan-segan untuk mempergunakan kepercayaan rakyat kepada ayat-ayat Al - Qur'an dan Hadis bahkan juga Ramalan Jayabaya dan Ratu Adil. 

Kemajuan yang diperolehnya ternyata membuat PKI lupa diri sehingga merencanakan suatu petualangan politik. Pada tanggal 13 November 1926 PKI melancarkan pemberontakan di Batavia dan disusul di daerah-daerah lain, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Di Sumatra Barat pemberontakan PKI dilancarkan pada tanggal 1 Januari 1927. Dalam waktu yang singkat semua pemberontakan PKI tersebut berhasil ditumpas. Akhirnya, ribuan rakyat ditangkap, dipenjara, dan dibuang ke Tanah Merah dan Digul Atas (Papua).

8.    Partai Nasional Indonesia (PNI)

Algemene Studie Club di Bandung yang didirikan oleh Ir. Soekarno pada tahun 1925 telah mendorong para pemimpin lainnya untuk mendirikan partai politik, yakni Partai Nasional Indonesia ( PNI). PNI didirikan di Bandung pada tanggal 4 Juli 1927 oleh 8 pemimpin, yakni dr. Cipto Mangunkusumo, Ir. Anwari, Mr. Sartono, Mr. Iskak, Mr. Sunaryo, Mr. Budiarto, Dr. Samsi, dan Ir. Soekarno sebagai ketuanya. Kebanyakan dari mereka adalah mantan anggota Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda yang baru kembali ke tanah air.

Radikal PNI telah kelihatan sejak awal berdirinya. Hal ini terlihat dari anggaran dasarnya bahwa tujuan PNI adalah Indonesia merdeka dengan strategi perjuangannya nonkooperasi. Untuk mencapai tujuan tersebut maka PNI berasaskan pada self help, yakni prinsip menolong diri sendiri, artinya memperbaiki keadaan politik, ekonomi, dan sosial budaya yang telah rusak oleh penjajah dengan kekuatan sendiri; nonkooperatif, yakni tidak mengadakan kerja sama dengan pemerintah Belanda; Marhaenisme, yakni mengentaskan massa dari kemiskinan dan kesengsaraan.

Untuk mencapai tujuan tersebut, PNI telah menetapkan program kerja sebagaimana dijelaskan dalam kongresnya yang pertama di Surabaya pada tahun 1928, seperti berikut.

a.    Usaha politik, yakni memperkuat rasa kebangsaan (nasionalisme) dan kesadaran atas persatuan bangsa Indonesia, memajukan pengetahuan sejarah kebangsaan, mempererat kerja sama dengan bangsa-bangsa Asia, dan menumpas segala rintangan bagi kemerdekaan diri dan kehidupan politik.

b.    Usaha ekonomi, yakni memajukan perdagangan pribumi, kerajinan, serta mendirikan bank-bank dan koperasi.

c.    Usaha sosial, yaitu memajukan pengajaran yang bersifat nasional, meningkatkan derajat kaum wanita, memerangi pengangguran, memajukan transmigrasi, memajukan kesehatan rakyat, antara lain dengan mendirikan poliklinik.

Untuk menyebarluaskan gagasannya, PNI melakukan propaganda-propaganda, baik lewat surat kabar, seperti Banteng Priangan di Bandung dan Persatuan Indonesia di Batavia, maupun lewat para pemimpin khususnya Ir. Soekarno sendiri. Dalam waktu singkat, PNI telah berkembang pesat sehingga menimbulkan kekhaw-tiran di pihak pemerintah Belanda. Pemerintah kemudian memberikan peringatan kepada pemimpin PNI agar menahan diri dalam ucapan, propaganda, dan tindakannya. 

Dengan munculnya isu bahwa PNI pada awal tahun 1930 akan mengadakan pemberontakan maka pada tanggal 29 Desember 1929, pemerintah Hindia Belanda mengadakan penggeledahan secara besar-besaran dan menangkap empat pemimpinnya, yaitu Ir. Soerkarno, Maskun, Gatot Mangunprojo dan Supriadinata. Mereka kemudian diajukan ke pengadilan di Bandung.

Dalam sidang pengadilan, Ir. Soerkarno mengadakan pembelaan dalam judul Indonesia Menggugat. Atas dasar tindakan melanggar Pasal "karet" 153 bis dan Pasal 169 KUHP, para pemimpin PNI dianggap mengganggu ketertiban umum dan menentang kekuasaan Belanda sehingga dijatuhi hukuman penjara di Penjara Sukamiskin Bandung. Sementara itu, pimpinan PNI untuk sementara dipegang oleh Mr. Sartono dan dengan pertimbangan demi keselamatan maka pada tahun 1931 oleh pengurus besarnya PNI dibubarkan. Hal ini menimbulkan pro dan kontra.

Mereka yang pro pembubaran, mendirikan partai baru dengan nama Partai Indonesia (Partindo) di bawah pimpinan Mr. Sartono. Kelompok yang kontra, ingin tetap melestarikan nama PNI dengan mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru) di bawah pimpinan Drs. Moh. Hatta dan Sutan Syahrir.

9.    Gerakan Wanita

Munculnya gerakan wanita di Indonesia, khusunya di Jawa dirintis oleh R.A. Kartini yang kemudian dikenal sebagai pelopor pergerakan wanita Indonesia. R.A. Kartini bercita-cita untuk mengangkat derajat kaum wanita Indonesia melalui pendidikan. Cita-citanya tersebut tertulis dalam surat-suratnya yang kemudian berhasil dihimpun dalam sebuah buku yang diterjemahkan dalam judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Cita-cita R.A. Kartini ini mempunyai persamaan dengan Raden Dewi Sartika yang berjuang di Bandung. Semasa Pergerakan Nasional maka muncul gerakan wanita yang bergerak di bidang pendidikan dan sosial budaya. Organisasi-organisasi yang ada, antara lain sebagai berikut.

a.    Putri Mardika di Batavia (1912) dengan tujuan membantu keuangan bagi wanita-wanita yang akan melanjutkan sekolahnya. Tokohnya, antara lain R.A. Saburudin, R.K. Rukmini, dan R.A. Sutinah Joyopranata.

b.    Kartinifounds, yang didirikan oleh suami istri T.Ch. van Deventer (1912) dengan membentuk sekolah-sekolah Kartinibagi kaum wanita, seperti di  Semarang, Batavia, Malang, dan Madiun.

c.    Kerajinan Amal Setia, di Koto Gadang Sumatra Barat oleh Rohana Kudus (1914).  

Tujuannya meningkatkan derajat kaum wanita dengan cara memberi pelajaran membaca, menulis, berhitung, mengatur rumah tangga, membuat kerajinan, dan cara pemasarannya.

d.   Aisyiah, merupakan organisasi wanita Muhammadiyah yang didirikan oleh Ny. Hj. Siti Walidah Ahmad Dahlan (1917). Tujuannya untuk memajukan pendidikan dan keagamaan kaum wanita.

e.    Organisasi Kewanitaan lain yang berdiri cukup banyak, misalnya Pawiyatan Wanito di Magelang (1915), Wanito Susilo di Pemalang (1918), Wanito Rukun Santoso di Malang, Budi Wanito di Solo, Putri Budi Sejati di Surabaya (1919), Wanito Mulyo di Yogyakarta (1920), Wanito Utomo dan Wanito Katolik di Yogyakarta (1921), dan Wanito Taman Siswa (1922).

Organisasi wanita juga muncul di Sulawesi Selatan dengan nama Gorontalosche Mohammadaanche Vrouwenvereeniging. Di Ambon dikenal dengan nama Ina Tani yang lebih condong ke politik. Sejalan dengan berdirinya organisasi wanita, muncul juga surat kabar wanita yang bertujuan untuk menyebarluaskan gagasan dan pengetahuan kewanitaan. Surat kabar milik organisasi wanita, antara lain Putri Hindia di Bandung, Wanito Sworo di Brebes, Sunting Melayu di Bukittinggi, Esteri Utomo di Semarang, Suara Perempuan di Padang, Perempunan Bergolak di Medan, dan Putri Mardika di Batavia.

Puncak gerakan wanita, yaitu dengan diselenggarakannya Kongres Perempuan Indonesia I pada tanggal 22–25 Desember 1928 di Yogyakarta. Kongres menghasilkan bentuk perhimpunan wanita berskala nasional dan berwawasan kebangsaan, yakni Perikatan Perempuan Indonesia (PPI). Dalam Kongres Wanita II di Batavia pada tanggal 28–31 Desember 1929 PPI diubah menjadi Perikatan Perhimpunan Isteri Indonesia (PPII). Kongres Wanita I merupakan awal dari bangkitnya kesadaran nasional di kalangan wanita Indonesia sehingga tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai hari Ibu.

 Ciri Perlawanan Bangsa Indonesia Terhadap Penjajahan Bangsa Barat di IndonesiaSebelum dan Sesudah Abad ke-20

Sebelum abad ke-20 perlawanan masih bersifat kedaerahan. Masing-masing pemimpin mempertahankan wilayah kekuasaannya. Sesudah abad ke-20 sudah bersifat nasional, yaitu perjuangan tidak lagi bersifat nasionalisme sempit, namun perjuangan ditujukan untuk mencapai Indonesia Merdeka. Munculnya kata “Indonesia” sebagai identitas bangsa menyatukan berbagai suku, agama, dan budaya yang ada di Nusantara untuk bersatu padu mengusir penjajah.Sebelum abad ke-20 perlawanan dipimpin oleh raja atau bangsawan. Pangeran Diponegoro (bangsawan), Teuku Umar (bangsawan), Sultan Hasanuddin (raja), Si Singamagaraja IX (raja). Karena perlawanan bertumpu pada kharisma pemimpin, maka tatkala pemimpin tewas atau tertangkap, perlawanan akan berhenti. Sesudah abad ke-20 perjuangan dipimpin oleh golongan terpelajar (cendekiawan).

Pemberian kesempatan bagi pribumi untuk mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah Belanda pada awal abad ke-20 dimaksudkan untuk memperoleh tenaga kerja murah, namun justru melahirkan  Golongan cendekiawan yang kemudian memimpin perjuangan melawan kolonialisme Belanda. Mereka adalah Sutomo, Suardi Suryaningrat, Soekarno, Moh. Hatta, Sahrir, dan lain-lain. Karena perjuangan melalui organisasi modern menerapkan sistem kaderisasi, maka meski pemimpin tertangkap dan dipenjara, perlawanan tetap berlanjut.Sebelum abad ke-20 perjuangan berbentuk perlawanan fisik, melalui peperangan. Pertempuran secara frontal menimbulkan banyak korban jiwa bagi kedua pihak. Sesudah abad ke-20 perjuangan melalui organisasi pergerakan nasional. Upaya mencapai kemerdekaan dilakukan dengan cara-cara modern, misalnya lewat media massa, demo, pemogokan buruh/pegawai, atau mengirimkan wakil-wakil di dewan rakyat (volksraad), serta menggalang dukungan politik dari dunia luar.Sebelum abad ke-20 perlawanan berpusat di desa-desa atau di pedalaman karena kota-kota yang merupakan pusat perniagaan dikuasai Belanda dan didirikan benteng. Sesudah abad ke-20 pusat perjuangan di kota-kota. Organisasi pergerakan yang berkedudukan di kota-kota besar melakukan kritik, agitasi massa, dan menentang berbagai kebijakan pemerintah kolonial Belanda.

 

 

 

 

 

Strategi Pergerakan Nasional di Indonesia

 .  Strategi Pergerakan Nasional di Indonesia

Bentuk dan strategi organisasi pergerakan nasional dalam menghadapi kekuatan kolonial Belanda memiliki perbedaan satu dengan yang lainnya, sekalipun mempunyai tujuan yang sama yaitu mencapai kemerdekaan Indonesia. Bentuknya ada yang berupa organisasi sosial, politik, kebudayaan, gerakan pemuda, gerakan wanita, gerakan buruh maupun keagamaan. Sedangkan strategi yang digunakan oleh pergerakan nasional secara umum sebagai berikut :

·      Menggunakan organisasi sebagai alat perjuangannnya;

·      Perjuangannya sudah bersifat nasional, bukan kedaerahan;

·      Tidak menggunakan kekerasan senjata;

·      Perjuangannya dipimpin oleh tokoh-tokoh agama, kaum terpelajar, tokoh-tokoh pemuda, dan tokoh tokoh masyarakat;

·      Asas perjuangannya ada yang bersifat kooperatif (tetapi bukan prinsip) dan non-kooperatif.

1.    Perjuangan Kooperasi

Kemerdekaan ekonomi merupakan syarat bagi kemerdekaan politik. Kemakmuran rakyat harus didahulukan sebelum berjuang untuk merdeka sebagai negara.Kegiatan organisasi kebangsaan mengutamakan perbaikan di bidang ekonomi dan sosial, seperti pendidikan, pembangunan pedesaan, serta koperasi.Organisasi kebangsaan bersifat lunak dan terbuka untuk kerja sama dengan pemerintah kolonial. Kerja sama itu antara lain berupa subsidi. 

2.    Perjuangan Nonkooperasi

Kemerdekaan baik ekonomi maupun politik harus dicapai dengan usaha sendiri. Mengusahakan kemakmuran rakyat dalam situasi masih dijajah adalah mustahil.Kegiatan organisasi kebangsaan mengutamakan bidang politik, melalui pendidikan politik dan pembentukan organisasi massa.Organisasi kebangsaan bersifat radikal dan menolak kerja sama dengan pemerintah kolonial dalam bentuk apapun.

Sampai tahun 1912, belum jelas bentuk perjuangan seperti apakah yang ditempuh oleh organisasi kebangsaan yang baru tumbuh. Barulah sejak berdirinya Indische Partij, tampak kecenderungan organisasi kebangsaan menempuh bentuk perjuangan nonkooperasi. Organisasi kebangsaan lain yang jelas sekali memperlihatkan sikap radikal itu adalah PI dan PNI.

Setelah gubernur jenderal De Jonge melakukan pengawasan ketat-bahkan pelarangan terhadap organisasi kebangsaan yang dianggap berbahaya, bentuk perjuangan beralih menjadi kooperasi. Bentuk perjuangan itu antara lain ditempuh melalui Volicsraad. Organisasi kebangsaan yang menempuh bentuk perjuangan itu antara lain PBI, Parindra, dan GAPI.

3.    Masa Radikal

Setelah Perang Dunia I berakhir, perasaan anti kolonialisme dan anti imperialisme pada bangsa-bangsa terjajah di Asia dan Afrika semakin menonjol. Lebih-lebih setelah adanya seruan presiden Amenka Serikat tentang menentukan nasib sendiri bagi bangsa-bangsa. Partai-partai politik di Indonesia dan negeri Belanda juga terpengaruh oleh situasi demikian. Kematangan dalam perjuangan dan sikap keras yang diambil pemerintah kolonial menyebabkan sikap moderat makin ditinggalkan dan sikap radikal makin menonjol. Sikap radikal ini ditandai oleh taktik non-kooperasi dari pihak partai-partai politik dan berbagai organisasi pergerakan nasional. Artinya, dalam memperjuangkan cita-citanva mereka tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial, terutama di bidang politik. 

Semua hal yang diperlukan untuk mencapai cita-cita itu akan diusahakan sendiri, antara lain dengan memperkokoh persatuan nasional, memajukan pendidikan, meningkatkan kegiatan-kegiatan sosial untuk kesejahteraan rakyat dan lain-lain. Mereka juga tidak mau memasuki dewan-dewan perwakilan rakyat yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Belanda baik di pusat maupun di daerah. Taktik non-kooperasi pada masa radikal ini dilakukan oleh organisasi-organisasi: Sarekat Islam (SI), Perhimpunan Indonesia (PI), Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Proses radikalisasi ini bertambah kuat sejak tahun 1921, hal ini antara lain disebabkan oleh timbulnya krisis ekonomi pada tahun 1921 dan lariisis perusahaan g-ula sejak tahun 1918, Pergantian kepala pemerintahan dengan Gubernur Jendral Fock yang bersifat sangat reaksioner, dan Kebijakan politiknya sering mengabaikan kekuatan ralcyat yang sedang berkembang.

4.    Masa Moderat

Masa radikal pergerakan nasional mulai berakhir sejak tahun 1930. Kemunduran itu bukan disebabkan kurang radikalnya pemimpin-pemimpin Indonesia, melainkan oleh sebab-sebab di luar kekuasaan mereka yaitu Krisis ekonomi dunia yang juga melanda Indonesia. Krisis tersebut mempengaruhi ekonomi Hindia Belanda yang justru menjadi tujuan utama penjajahan.Tindakan pemerintah semakin keras terhadap partai politik, lebih-lebih tindakan Gubernur Jenderal de Jonge yang sangat konservatif dan reaksioner.

Secara nyata memang partai-partai tidak dilarang atau dimatikan sama sekali. Tetapi gerak-gerik mereka sangat dibatasi. Mula-mula dikeluarkan peraturan larangan berkumpul, kemudian sekolah swasta nasional dinilai sebagai sekolah liar. Sekolah Swasta Nasional banyak melahirkan bibit-bibit nasionalisme yang sangat berbahaya. Untuk memberantasnya dikeluarkan Ordonansi Sekolah Liar, yang melarang kelanjutan sekolah tersebut. Di samping itu, anggota-anggota polisi rahasia memata-matai, melakukan penggeledahan dan penangkapan terhadap orang-orang yang dicurigai. Kadang-kadang sikap polisi itu sudah sangat berlebihan. 

Akibat kebijakan politik kolonial yang sangat menindas itu, partai-partai politik kehilangan kontak dengan rakyat. Lebih dari itu banyak media komunikasi massa yang diberangus. Karena keadaan vang tidak menentu semacam itu, akhirnya para pemimpin pergerakan nasional mengganti taktik perjuangan dari radikal non-kooperatif menjadi taktik moderat kooperatif. Organisasi-organisasi pergerakan nasional yang muncul pada masa moderat adalah Partai Indonesia Raya (Parindra), Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), dan Gabungan Politik Indonesia (GAPI). Golongan kooperatif ini mencoba memanfaatkan Volksraad untuk kepentingan rakyat. Beberapa partai dan organisasi nasional mempunyai wakil dalam Volksraad.

Untuk memperkuat persatuan di antara wakil-wakil bangsa Indonesia yang duduk dalam Volksraad, pada tanggal 27 Januari 1930, Mohammad Husni Thamrin membentuk Fraksi Nasional. Seperti partai atau organisasi nasional lainnya, Fraksi Nasional menuntut adanya perubahan tata negara dan penghapusan terhadap diskriminasi di bidang politik, ekonomi, dan sosial. Masalah politik, seperti penangkapan dan pembuangan semena-mena terhadap tokoh-tokoh pergerakan nasional diperdebatkan dalam Volksraad. Juga masalah sosial-budava, seperti Ordonansi Sekolah Liar, pertahanan, dan dampak depresi ekonomi terhadap rakvat diperdebatkan dalam sidang Volksraad. 

Kelumpuhan pergerakan nasional akibat politik penindasan pemerintah kolonial telah menumbuhkan ide Petisi Sutarjo. Petisi ini meminta diberikannya pemerintahan sendiri kepada Indonesia dalam jangka waktu sepuluh tahun. Sebagian besar petisi tersebut didukung oleh tokoh-tokoh nasionalis dan golongan dalam masyarakat. Golongan Arab, Indo, dan Cina mendukung petisi dengan harapan jika Indonesia berdiri sendiri, hak dan kepentingan mereka diakui dan dilindungi. Untuk memperkuat petisi, dijalankan beberapa aksi, seperti rapat-rapat umum di seluruh Indonesia yang di selenggarakan oleh Central Committee Petisi Sutarjo. 

Beberapa partai dan tokoh nasionalis yang sudah menyadari betapa konservatifnya kebijakan politik kolonial, menganggap usul petisi sebagai perbuatan sia-sia. Golongan kapitalis dan pers Belanda menganggap usul ini terlalu pagi dan diajukan tidak pada saat yang tepat. Walaupun mendapat kritik bermacam-macam, namun seluruh perhatian pergerakan nasional dipusatkan pada petisi ini. Tetapi petisi yang sangat lunak ini ditolak juga oleh pemerintah Belanda pada bulan Oktober 1938, dengan alasan belum waktunya. 

Kegagalan petisi makin meyakinkan tokoh-tokoh pergerakan nasional bahwa Volksraad bukanlah dewan perwakilan yang sesungguhnya. Di samping itu, partai-partai politik berusaha mengadakan penggabungan yang kemudian terjelma dalam Gabungan Politik Indonesia (GAPI) pada tahun 1939. GAPI menuntut Indonesia berparlemen yang sesungguhnya. Sebagai realisasi dari usulan GAPI, kemudian dibentuk Komisi Visman oleh pemerintah dengan tugas menyelidiki hasrat dan keinginan golongan-golongan dalam masyarakat yang ada di Indonesia. Pada masa itu juga telah diperjuangkan pemakaian bahasa Indonesia dalam sidang Volksraad dan perubahan kata "Lnlander" menjadi orang Indonesia, kata "Nederlands-Indie" menjadi Indonesia. Diskriminasi berdasarkan warna kulit juga diperjuangkan untuk dihapuskan, tetapi semua itu ditolak oleh Belanda dengan janji akan dibicarakan sesudah Perang Pasifik.

B.  Organisasi dan Tokoh-Tokoh Nasional dan Daerah dalam Perjuangan Menegakkan Negara Republik Indonesia

Berikut ini adalah beberapa pergerakan nasional yang muncul di Indonesia sampai menjelang runtuhnya kolonialisme Belanda :

1.    Budi Utomo


Organisasi Budi Utomo (BU) didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 oleh para mahasiswa STOVIA di Batavia dengan Sutomo sebagai ketuanya. Terbentuknya organisasi tersebut atas ide dr. Wahidin Sudirohusodo yang sebelumnya telah berkeliling Jawa untuk menawarkan idenya membentuk Studiefounds. Gagasan Studiesfounds bertujuan untuk menghimpun dana guna memberikan beasiswa bagi pelajar yang berprestasi, namun tidak mampu melanjutnya studinya. Gagasan itu tidak terwujud, tetapi gagasan itu melahirkan Budi Utomo. Tujuan Budi Utomo adalah memajukan pengajaran dan kebudayaan. Tujuan tersebut ingin dicapai dengan usaha-usaha sebagai berikut:

a.    Memajukan pengajaran;

b.    Memajukan pertanian, peternakan dan perdagangan;

c.    Memajukan teknik dan industri

d.   Menghidupkan kembali kebudayaan.

Dilihat dari tujuannya, Budi Utomo bukan merupakan organisasi politik melainkan merupakan organisasi pelajar dengan pelajar STOVIA sebagai intinya. Sampai menjelang kongresnya yang pertama di Yogyakarta telah berdiri tujuh cabang Budi Utomo, yakni di Batavia, Bogor, Bandung, Magelang, Yogyakarta, Surabaya, dan Ponorogo.Untuk mengonsolidasi diri (dengan dihadiri 7 cabangnya), Budi Utomo mengadakan kongres yang pertama di Yogyakarta pada tanggal 3-5 Oktober 1908. Kongres memutuskan hal-hal sebagai berikut.

a.    Budi Utomo tidak ikut dalam mengadakan kegiatan politik.

b.    Kegiatan Budi Utomo terutama ditujukan pada bidang pendidikan dan kebudayaan.

c.    Ruang gerak Budi Utomo terbatas pada daerah Jawa dan Madura.

d.   Memilih R.T. Tirtokusumo, Bupati Karanganyar sebagai ketua.

e.    Yogyakarta ditetapkan sebagai pusat organisasi.

Sampai dengan akhir tahun 1909, telah berdiri 40 cabang Budi Utomo dengan jumlah anggota mencapai 10.000 orang. Akan tetapi, dengan adanya kongres tersebut tampaknya terjadi pergeseran pimpinan dari generasi muda ke generasi tua. Banyak anggota muda yang menyingkir dari barisan depan, dan anggota Budi Utomo kebanyakan dari golongan priayi dan pegawai negeri. Dengan demikian, sifat protonasionalisme dari para pemimpin yang tampak pada awal berdirinya Budi Utomo terdesak ke belakang. Strategi perjuangan BU pada dasarnya bersifat kooperatif.

Mulai tahun 1912 dengan tampilnya Notodirjo sebagai ketua menggantikan R.T. Notokusumo, Budi Utomo ingin mengejar ketinggalannya. Akan tetapi, hasilnya tidak begitu besar karena pada saat itu telah muncul organisasi-organisasi nasional lainnya, seperti Sarekat Islam (SI) dan Indiche Partij (IP). Namun demikian, Budi Utomo tetap mempunyai andil dan jasa yang besar dalam sejarah pergerakan nasional, yakni telah membuka jalan dan memelopori gerakan kebangsaan Indonesia. Itulah sebabnya tanggal 20 Mei ditetapkan sebagai hari Kebangkitan Nasional yang kita peringati setiap tahun hingga sekarang.

2.    Sarekat Islam (SI)

K. H Samanhudi

 

Tiga tahun setelah berdirinya Budi Utomo, yakni tahun 1911 berdirilah Sarekat Dagang Islam ( SDI ) di Solo oleh H. Samanhudi, seorang pedagang batik dari Laweyan Solo.Organisasi Sarekat Dagang Islam berdasar pada dua hal berikut ini yaitu Agama Islam dan Ekonomi, yakni untuk memperkuat diri dari pedagang Cina yang berperan sebagai leveransir (seperti kain putih, malam, dan sebagainya).

Atas prakarsa H.O.S. Cokroaminoto, nama Sarekat Dagang Islam kemudian diubah menjadi Sarekat Islam ( SI ), dengan tujuan untuk memperluas anggota sehingga tidak hanya terbatas pada pedagang saja. Berdasarkan Akte Notaris pada tanggal 10 September 1912, ditetapkan tujuan Sarekat Islam sebagai berikut:

·         memajukan perdagangan;

·         membantu para anggotanya yang mengalami kesulitan dalam bidang usaha (permodalan);

·         memajukan kepentingan rohani dan jasmani penduduk asli;

·         memajukan kehidupan agama Islam.

Melihat tujuannya tidak tampak adanya kegiatan politik. Akan tetapi, Sarekat Islam dengan gigih selalu memperjuangkan keadilan dan kebenaran terhadap penindasan dan pemerasan oleh pemerintah kolonial. Dengan demikian, di samping tujuan ekonomi juga ditekankan adanya saling membantu di antara anggota. Itulah sebabnya dalam waktu singkat, Sarekat Islam berkembang menjadi anggota massa yang pertama di Indonesia. Sarekat Islam merupakan gerakan nasionalis, demokratis dan ekonomis, serta berasaskan Islam dengan haluan kooperatif.

H O S Tcokroaminoto

Mengingat perkembangan Sarekat Islam yang begitu pesat maka timbullah kekhawatiran dari pihak Gubernur Jenderal Indenberg sehingga permohonan Sarekat Islam sebagai organisasi nasional yang berbadan hukum ditolak dan hanya diperbolehkan berdiri secara lokal. Pada tahun 1914 telah berdiri 56 Sarekat Islam lokal yang diakui sebagai badan hukum.

Pada tahun 1915 berdirilah Central Sarekat Islam (CSI) yang berkedudukan di Surabaya. Tugasnya ialah membantu menuju kemajuan dan kerjasama antar Sarekat Islam lokal. Pada tanggal 17–24 Juni 1916 diadakan Kongres SI Nasional Pertama di Bandung yang dihadiri oleh 80 Sarekat Islam lokal dengan anggota 360.000 orang anggota. Dalam kongres tersebut telah disepakati istilah "nasional", dimaksudkan bahwa Sarekat Islam menghendaki persatuan dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia menjadi satu bangsa.

Sifat Sarekat Islam yang demokratis dan berani serta berjuang terhadap kapitalisme untuk kepentingan rakyat kecil sangat menarik perhatian kaum sosialis kiri yang tergabung dalam Indische Social Democratische Vereeniging (ISDV) pimpinan Sneevliet (Belanda), Semaun, Darsono, Tan Malaka, dan Alimin (Indonesia).Itulah sebabnya dalam perkembangannya Sarekat Islam pecah menjadi dua kelompok berikut ini.

a.       Kelompok nasionalis religius ( nasionalis keagamaan) yang dikenal dengan Sarekat Islam Putih dengan asas perjuangan Islam di bawah pimpinan H.O.S. Cokroaminoto.

b.      Kelompok ekonomi dogmatis yang dikenal dengan nama Sarekat Islam Merah dengan haluan sosialis kiri di bawah pimpinan Semaun dan Darsono.

3.    Indische Partij (IP)

Indische Partij (IP) didirikan di Bandung pada tanggal 25 Desember 1912 oleh Tiga Serangkai, yakni Douwes Dekker (Setyabudi Danudirjo), dr. Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara).Organisasi ini mempunyai cita-cita untuk menyatukan semua golongan yang ada di Indonesia, baik golongan Indonesia asli maupun golongan Indo, Cina, Arab, dan sebagainya. Mereka akan dipadukan dalam kesatuan bangsa dengan membutuhkan semangat nasionalisme Indonesia. Cita-cita Indische Partij banyak disebar-luaskan melalui surat kabar De Expres. Di samping itu juga disusun program kerja sebagai berikut:

a.    Meresapkan cita-cita nasional Hindia (Indonesia).

b.    Memberantas kesombongan sosial dalam pergaulan, baik di bidang pemerintahan, maupun kemasyarakatan.

c.    Memberantas usaha-usaha yang membangkitkan kebencian antara agama yang satu dengan yang lain.

d.   Memperbesar pengaruh pro-Hindia di lapangan pemerintahan.

e.    Berusaha untuk mendapatkan persamaan hak bagi semua orang Hindia.

f.     Dalam hal pengajaran, kegunaannya harus ditujukan untuk kepentingan ekonomi Hindia dan memperkuat mereka yang ekonominya lemah.

Melihat tujuan dan cara-cara mencapai tujuan seperti tersebut di atas maka dapat diketahui bahwa Indische Partij berdiri di atas nasionalisme yang luas menuju Indonesia merdeka. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Indische Partij merupakan partai politik pertama di Indonesia dengan haluan kooperasi. Dalam waktu yang singkat telah mempunyai 30 cabang dengan anggota lebih kurang 7.000 orang yang kebanyakan orang Indo.

Oleh karena sifatnya yang progresif menyatakan diri sebagai partai politik dengan tujuan yang tegas, yakni Indonesia merdeka sehingga pemerintah menolak untuk memberikan badan hukum dengan alasan Indische Partij bersifat politik dan hendak mengancam ketertiban umum. Walaupun demikian, para pemimpin Indische Partij masih terus mengadakan propaganda untuk menyebarkan gagasan-gagasannya.

Satu hal yang sangat menusuk perasaan pemerintah Hindia Belanda adalah tulisan Suwardi Suryaningrat yang berjudul Als ik een Nederlander was (seandainya saya seorang Belanda) yang isinya berupa sindiran terhadap ketidakadilan di daerah jajahan. Oleh karena kegiatannya sangat mencemaskan pemerintah Belanda maka pada bulan Agustus 1913 ketiga pemimpin Indische Partij dijatuhi hukuman pengasingan dan mereka memilih Negeri Belanda sebagai tempat pengasingannya.

Tiga Serangkai

    Ki Hadjar Dewantara            Tjipto Mangoenkoesoemo                 Douwes Dekker


Dengan diasingkannya ketiga pemimpin Indische Partij maka kegiatan Indische Partij makin menurun. Selanjutnya, Indische Partij berganti nama menjadi Partai Insulinde dan pada tahun 1919 berubah lagi menjadi National Indische Partij (NIP). National Indische Partij tidak pernah mempunyai pengaruh yang besar di kalangan rakyat dan akhirnya hanya merupakan perkumpulan orang-orang terpelajar.

4.    Muhammadiyah

K.H Ahmad Dahlan

Muhammadiyah didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912. Asas perjuangannya ialah Islam dan kebangsaan Indonesia, sifatnya nonpolitik. Muhammadiyah bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, dan sosial menuju kepada tercapainya kebahagiaan lahir batin. Tujuan Muhammadiyah ialah sebagai berikut.

a.         Memajukan pendidikan dan pengajaran berdasarkan agama Islam;

b.        Mengembangkan pengetahuan ilmu agama dan cara-cara hidup menurut agama Islam.

Untuk mencapai tujuan tersebut, usaha yang dilakukan oleh Muhammadiyah adalah sebagai berikut:

a.    Mendirikan sekolah-sekolah yang berdasarkan agama Islam ( dari TK sampaidengan perguruan tinggi);

b.    Mendirikan poliklinik-poliklinik, rumah sakit, rumah yatim, dan masjid;

c.    Menyelenggarakan kegiatan-kegiatan keagamaan.

Muhammadiyah berusaha untuk mengembalikan ajaran Islam sesuai dengan Al-Qur'an dan Hadis. Itulah sebabnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran agama Islam secara modern dan memperteguh keyakinan tentang agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenarnya. Kegiatan Muhammadiyah juga telah memperhatikan pendidikan wanita yang dinamakan Aisyiah, sedangkan untuk kepanduan disebut Hizbut Wathon ( HW ). Sejak berdiri di Yogyakarta (1912) Muhammadiyah terus mengalami perkembangan yang pesat. Sampai tahun 1913, Muhammadiyah telah memiliki 267 cabang yang tersebar di Pulau Jawa. Pada tahun 1935, Muhammadiyah sudah mempunyai 710 cabang yang tersebar di Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi.