A.
Bentuk Perlawanan Rakyat Indonesia
Terhadap Penjajahan Bangsa Barat
1.
Perlawanan terhadap PORTUGIS
A.
Bentuk Perlawanan Rakyat Indonesia
Terhadap Penjajahan Bangsa Barat
1.
Perlawanan terhadap PORTUGIS
Kedatangan bangsa Portugis ke Indonesia menjadi ancaman bagi
kerajaan-kerajaan di Indonesia. Tidak heran jika sejak awal kedatangannya,
terjadi periawanan dari kerajaan-kerajaan di Indonesia terhadap Portugis.
Contoh perlawanan kerajaan di Indonesia terhadap Portugis sebagai berikut.
a.
Perlawanan Sultan
Baabullah terhadap Portugis Pada tahun 1512
Setelah
mengetahui Ternate menjadi pusat utama perdagangan rempah-rempah di Maluku,
Portugis berniat memonopoli perdagangan rempah-rempah di Ternate. Bahkan,
Portugis ikut campur dalam urusan pemerintahan di Ternate. Tindakan Portugis
tersebut akhirnya memancing kemarahan rakyat Ternate. Pada masa pemerintahan
Sultan Hairun (1534-1570), rakyat Ternate bangkit melakukan perlawanan terhadap
Portugis. Sultan Hairun mengobarkan perang mengusir Portugis dari Ternate.
Perlawanan itu telah mengancam kedudukan Portugis di Maluku. Keberadaan Aceh
dan Demak yang terus mengancam kedudukan Portugis di Malaka telah menyebabkan
Portugis di Maluku kesulitan mendapat bantuan. Oleh karena itu, Gubernur
Portugis di Maluku, Lopez de Mesquita mengajukan perundingan damai kepada
Sultan Hairun. Selanjutnya, Lopez de Mesquita mengundang Sultan Hairun ke
benteng Sao Paulo.
Dengan
cara tersebut, Sultan Hairun berhasil ditangkap dan dibunuh oleh Lopez de
Mesquita. Peristiwa itu semakin memicu kemarahan rakyat. Bahkan, rakyat seluruh
Maluku dapat bersatu melawan Portugis. Di bawah kepemimpinan Sultan Baabullah
(1570-1583). rakyat menyerang pos-pos perdagangan dan pertahanan Portugis di
Maluku. Benteng Sao Paolo dikepung selama lima tahun. Strategi tersebut
berhasil mengalahkan Portugis. Pada tahun 1575 Portugis meninggalkan Maluku.
Setelah kepergian Portugis, Ternate berkembang menjadi kerajaan Islam terkuat
di Maluku.
Sultan
Baabullah berhasil membawa Ternate mencapai puncak kejayaan. Wilayah kekuasaan
Ternate membentang dari Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Timur di
bagian barat hingga Kepulauan Marshall di bagian timur, dari Filipina Selatan
di bagian utara hingga Kepulauan Kai dan Nusa Tenggara di bagian selatan.
Setiap wilayah atau daerah ditempatkan wakil sultan yang disebut sangaji.
Sultan Baabullah selanjutnya dijuluki "penguasa 72 pulau".
Pulau-pulau tersebut semuanya berpenghuni dan memiliki raja yang tunduk kepada
Sultan Baabullah.
b.
Perlawanan Kerajaan
Aceh terhadap Portugis
S.
Iakandar Muda |
Sultan Iskandar muda |
c.
Perlawanan Kerajaan
Demak terhadap Portugis
Pati
Unus |
Pati unus |
2.
Perlawanan terhadap VOC
Sebagaimana telah diuraikan, setelah bangsa Portugis
menguasai beberapa wilayah Nusantara, berdatanganlah kemudian bangsa Belanda.
Mereka kemudian saling bersaing dalam perdagangan. Untuk menghindari kerugian
dari persaingan itu pada pada tanggal 20 Maret 1602 orang-orang Belanda
kemudian membentuk Vereenigde Oost Indische Compagnic (VOC). Dalam
perkembangannya VOC berhasil menanamkan kekuasaannya di Indonesia.Keberadaan
dan kebijakan VOC ternyata sangat merugikan rakyat Indonesia. Oleh karena itu
rakyat Indonesia kemudian mengadakan perlawanan terhadap VOC. Adapun perlawanan
rakyat Indonesia terhadap kekuasaan VOC antara lain adalah sebagai berikut.
a.
Perlawanan Kesultanan
Mataram
Pada
awalnya Mataram dengan Belanda menjalin hubungan baik. Belanda diijinkan
mendirikan benteng (loji) untuk kantor dagang di Jepara. Belanda juga memberikan
dua meriam terbaik untuk kerajaan Mataram. Dalam perkembangannya, terjadi
perselisihan antara Mataram-Belanda. Pada tanggal 8 November 1618 Gubernur
Jendral VOC Jan Pieterzoon Coen memerintahkan Van der Marct menyerang Jepara.
Peristiwa tersebut yang memperuncing perselisihan antara Mataram dengan
Belanda.
Sultan
Agung Hanyokrokusumo |
Mataram
segera mempersiapkan serangan kedua Kali ini pasukan Mataram dipimpin Kyai
Adipati Juminah, K.A. Puger, dan K.A. Purbaya. Serangan dimulai tanggal 1
Agustus dan berakhir 1 Oktober 1629. Serangan kedua inipun gagal. Selain karena
faktor kelemahan pada serangan pertama, lumbung padi persediaan makanan banyak
dihancurkan Belanda. Di samping Sultan Agung, perlawanan terhadap kekuasaan VOC
juga dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi dan Mas Said. Serangan pertama ini
gagal dikarenakan : Mataram kurang teliti memperhitungkan medan pertempuran,
Kekurangan perbekalan, Kalah persenjataan
b.
Perlawanan Keultanan
Gowa
Dalam
lalu lintas perdagangan Gowa menjadi bandar antara jalur perdagangan Malaka dan
Maluku. Sebelum rempah-rempah dari Maluku dibawa sampai ke Malaka, maka singgah
dahulu di Gowa, begitu juga sebaliknya. Melihat kedudukan Gowa yang begitu
penting, maka VOC ingin sekali menguasai bandar di Gowa. Usaha yang dilakukan
antara lain: tahun 1634, VOC melakukan blokade terhadap Pelabuhan Sombaopu. Di
samping itu kapal-kapal VOC juga diperintahkan untuk merusak dan menangkap
kapal-kapal priburni maupun kapal-kapal asing.Menghadapi. perkembangan yang
semakin genting itu, maka raja Gowa, Sultan Hasanuddin mempersiapkan pasukan
dengan segala perlengkapan untuk menghadapi VOC. Beberapa kerajaan sekutu Gowa
juga disiapkan. Benteng-benteng dibangun di sepanjang pantai kerajaan.
Sementara itu VOC dalam rangka menerapkan politik adu domba, telah menjalin
hubungan dengan seorang pangeran Bugis, dari Bone bernama La Tenritatta to’Unru
yang lebih terkenal dengan nama Arung Palaka.Meletuslah perang antara VOC
dengan Gowa pada 7 Juli 1667. Tentara VOC dipimpin Spelman yang diperkuat
pengikut Arung Palaka menggempur Gowa. Karena kalah persenjataan, Benteng
pertahanan tentara Gowa di Barombang dapat diduduki oleh pasukan Arung Palaka. Perselisihan
ini diakhiri dengan ditandatanganinya perjanjian Bongaya yang isinya sebagai
berikut.
1)
Gowa harus mengakui hak
monopoli.
2)
Semua orang Barat,
kecuali Belanda harus meninggalkan wilayah kekuasaan Gowa.
3)
Gowa harus membayar
biaya perang.
4)
Di Makasar dibangun
benteng-benteng VOC
Pada
mulanya perjanjian Bongaya itu tidak ingin dilaksanakan. Bahkan Hasanuddin
mengobarkan perlawanan kembali pada bulan April 1668. Namun perlawanan ini pun
dapat dipadamkan, sehingga terpaksa isi peanjian Bongaya dilaksanakan. Benteng
pertahanan Gowa diserahkan kepada VOC dan oleh Spelman kcmudian diberi nama
Benteng Rotterdam.
3.
Perlawanan terhadap Pemerintahan Hindia Belanda
Tokoh perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda |
a.
Perang Saparua di
Ambon
Pattimura |
b.
Perang Paderi di
Sumatra Barat
c.
Perang Diponegoro 1825-1830
Pangeran
Diponegoro |
d.
Perang Aceh
Semangat
jihad (perang membela agama Islam) merupakan spirit perlawanan rakyat Aceh
terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Jendral Kohler terbunuh saat pertempuran di
depan masjid Baiturrahman Banda Aceh. Kohler meninggal dekat sebuah pohon yang
sekarang diberi nama Pohon Kohler. Siasat konsentrasi stelsel dengan sistem
bertahan dalam benteng besar oleh Belanda tidak berhasil dalam perang itu.
Belanda semakin terdesak, korban semakin besar, dan keuangan terus terkuras.
Snouck Hurgroje Pemerintah Hindia Belanda sama sekali kewalahan dan tidak mampu
menghadapi secara fisik perlawanan rakyat Aceh. Menyadari hal tersebut, Belanda
mengutus Dr. Snouck Hurgroje yang memakai nama samaran Abdul Gafar (seorang
ahli bahasa, sejarah ,dan sosial Islam) untuk mencari kelemahan rakyat Aceh.
Setelah
lama belajar di Arab, Snouck Hugronje memberikan saran-saran kepada Belanda
mengenai cara mengalahkan orang Aceh. Menurut Hurgronje, Aceh tidak mungkin
dilawan dengan kekerasan, sebab karakter orang Aceh adalah pantang menyerah,
jiwa jihad orang Aceh sangat tinggi. Taktik yang paling mujarab adalah
dengan mengadu domba antara golongan Uleebalang (bangsawan) dengan ulama.
Pemerintah Hindia Belanda kemudian menjanjikan kedudukan pada Uleebalang yang
bersedia damai. Taktik ini berhasil, banyak Uleebalang yang tertarik pada
tawaran Belanda. Belanda memberikan tawaran kedudukan kepada para Uleebalang
apabila kaum ulama dapat dikalahkan. Sejak tahun 1898 kedudukan Aceh semakin
terdesak. Belanda mengumumkan perang Aceh selesai tahun 1904. Namun demikian
perlawanan rakyat Aceh secara sporadis masih berlangsung hingga tahun 1930-an.
e.
Perlawanan
Sisingamangaraja di Sumatra Utara
Perlawanan
terhadap Pemerintah Hindia Belanda di Sumatra Utara dipimpin oleh
Sisingamangaraja XII, Perlawanan di Sumatra Utara berlangsung cukup lama, yaitu
selama 24 tahun. Pertempuran diawali dari Bahal Batu sebagai pusat pertahanan
Belanda tahun 1877. Untuk menghadapi Perang Batak (sebutan perang di
Sumatra Utara), Pemerintah Hindia Belanda menarik pasukan dari Aceh. Pasukan
Sisingamangaraja dapat dikalahkan setelah Kapten Christoffel berhasil mengepung
benteng terakhir Sisingamangaraja di Pakpak. Kedua putra beliau Patuan Nagari
dan Patuan Anggi ikut gugur dalam pertempuran tersebut, sehingga seluruh
Tapanuli dapat dikuasai Belanda.
f.
Perang Banjar
Pangeran
Antasari Perang Banjar berawal ketika Pemerintah Hindia Belanda ikut campur
tangan dalam urusan pergantian raja di Kerajaan Banjarmasin. Belanda memberi
dukungan kepada Pangeran Tamjid Ullah yang tidak disukai oleh rakyat. Pangeran
Antasari dengan kekuatan 300 prajurit menyerang tambang batu bara milik Belanda
di Pengaron pada tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi peperangan
dilakukan oleh Pangeran antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Pangeran
Antasari menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah
Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu dengan dibantu
para panglima dan prajuritnya yang setia. Pemberontakan dilakukan oleh Prabu
Anom dan Pangeran Hidayat. Pada tahun 1859, Pangeran Antasari memimpin
perlawanan setelah Prabu Anom tertangkap Belanda, dengan bantuan pasukan dari
Belanda, pasukan Pangeran Antasari dapat didesak. Tahun 1862 Pangeran Hidayat
menyerah dan berakhirlah perlawanan rakyat Banjar di pulau Kalilmantan.
Perlawanan baru benar-benar dapat dipadamkan pada tahun 1866.
g.
Perang Jagaraga di
Bali
Perang
Jagaraga berawal saat Pemerintah Hindia Belanda dan kerajaan di Bali
bersengketa tentang hak tawan karang. Hak tawan karang berisi peraturan bahwa
setiap kapal yang kandas di perairan Bali merupakan hak penguasa di daerah
tersebut. Pemerintah Belanda memprotes Raja Buleleng yang menyita dua kapal
milik Belanda. Raja Buleleng tidak mau menerima tuntutan Belanda untuk
mengembalikan kedua kapalnya, persengketaan ini menyebabkan Belanda melakukan
serangan terhadap kerajaan Buleleng tahun 1846. Belanda berhasil menguasai
kerajaan Buleleng, sementara Raja Buleleng menyingkir ke Jagaraga dengan
dibantu oleh Kerajaan Karangasem.
Setelah
berhasil merebut Benteng Jagaraga, Pemerintah Hindia Belanda melanjutkan
ekspedisi militernya pada tahun 1849. Dua kerajaan Bali, Gianyar dan Klungkung
menjadi sasaran Belanda. Tahun 1906, seluruh kerajaan di Bali jatuh ke pihak
Pemerintah Hindia Belanda setelah rakyat melakukan perang habis-habisan sampai
mati, yang dikenal dengan Perang Puputan.
h.
Perang Tondano di
Sulawesi Utara
Perang
Tondano terjadi pada masa penjajahan HIndia Belanda, baik pada masa VOC maupun
pada masa Pemerintah Hindia Belanda. Bangsa Spanyol sudah sampai di tanah
Minahasa (Tondano) Sulawesi Utara sebelum kedatangan bangsa Belanda. Hubungan
dagang orang Minahasa dengan Spanyol terus berkembang. Tetapi mulai abad XVII
hubungan dagang antara mereka mulai terganggu dengan kehadiran para pedagang
dari Belanda. Waktu itu VOC berhasil menanamkan pengaruhnya di Ternate. VOC
berusaha memaksakan kehendak mereka mereka agar orang-orang Minahasa menjual
hasil berasnya kepada VOC. Orang-orang Minahasa menentang usaha monopoli dari
VOC tersebut. Tidak ada pilihan lain bagi VOC, mereka memilih upaya memerangi
orang-orang Minahasa. Untuk melemahkan orang-orang Minahasa, VOC kemudian
membendung Sungai Temberan. Akibatnya aliran sungai tersebut meluap dan
menggenangi tempat tinggal rakyat dan para pejuang Minahasa. Orang-orang
Minahasa kemudian pindah ke Danau Tondano dengan rumah-rumah apung. Perang
Tondano terjadi lagi pada abad ke-19.
Perang
ini dilatarbelakangi oleh kebijakan Gubernur Jenderal Daendels. Pada kebijakan
itu, Minahasa dijatah untuk mengumpulkan calon pasukan sejumlah 2000 orang yang
akan dikirim ke Jawa. Orang-orang Minahasa umumnya tidak setuju dengan program Belanda
untuk merekrut pemuda-pemuda Minahasa sebagai pasukan kolonial. Banyak di
antara para ukung mulai meninggalkan rumah. Mereka justru mengadakan perlawanan
terhadap Belanda. Gubernur Prediger mengirim pasukan untuk menyerang pertahanan
orang-orang Minahasa di Tondano-Minawanua. Belanda menerapkan strategi dengan
membendung Sungai Temberan lagi. Prediger juga membentuk dua pasukan tangguh.
Pasukan pertama dipersiapkan untuk menyerang dari Danau Tondano dan pasukan
yang lain menyerang Minawanua dari darat. Tanggal 23 Oktober 1808 pertempuran
mulai berlangsung dengan sengit.
Pasukan
Hindia Belanda yang berpusat di Danau Tondano berhasil melakukan serangan dan
merusak pagar bamu berduri yang membatasi danau dengan perkampungan Minawanua,
sehingga menerobos pertahanan orang-orang Minahasa di Minawanua. Karena waktu
sudah malam maka para pejuang dengan semangat yang tinggi terus bertahan dan
melakukan perlawanan dari rumah ke rumah. Pasukan Belanda merasa kewalahan.
Setelah pagi hari tanggal 24 Oktober 1808 pasukan Belanda dari darat
membombardir kampung pertahanan Minawanua. Serangan terus dilakukan Belanda
sehingga kampung itu seperti tidak ada lagi kehidupan. Pasukan Prediger mulai
mengendorkan serangannya. Tiba-tiba dari arah perkampungan itu orang-orang Tondano
muncul dan menyerang dengan hebatnya sehingga korbanpun berjatuhan dari pihak
Belanda. Pasukan Pemerintah Hindia Belanda kewalahan dan terpaksa ditarik
mundur. Seiring dengan itu Sungai Temberan yang dibendung mulai meluap sehingga
mempersulit pasukan Belanda sendiri. Dari jarak jauh Belanda terus menghujani
meriam ke Kampung Minawanua, tetapi tentu tidak efektif. Begitu juga serangan
yang dari danau tidak mampu mematahkan semangat juang orang-orang
Tondano-Minawanua. Bahkan terpetikik berita kapal yang paling besar yang di
danau tenggelam. Perang Tondano II ini berlangsung cukup lama, sampai bulan
Agustus 1809.
Dalam
suasana kepenatan dan kekurangan makanan mulai ada kelompok dari pejuang yang
mulai memihak kepada Hindia Belanda. Namun dengan kekuatan dan semangat yang
ada para pejuang Tondano terus memberikan perlawanan atas gempuran pasukan
Belanda yang terus menerus. Akhirnya pada tanggal 4-5 Agustus 1809 Benteng
pertahanan Moraya milik para pejuang hancur bersama rakyat yang berusaha
mempertahankan. Para pejuang itu memilih mati dari pada menyerah. Mayat-mayat
mereka telah lenyap di dasar danau bersama lenyapnya kemerdekaan dan kedaulatan
tanah Minahasa.
bangsa Portugis ke Indonesia menjadi ancaman bagi
kerajaan-kerajaan di Indonesia. Tidak heran jika sejak awal kedatangannya,
terjadi periawanan dari kerajaan-kerajaan di Indonesia terhadap Portugis.
Contoh perlawanan kerajaan di Indonesia terhadap Portugis sebagai berikut.
a.
Perlawanan Sultan
Baabullah terhadap Portugis Pada tahun 1512
A.
Bentuk Perlawanan Rakyat Indonesia
Terhadap Penjajahan Bangsa Barat
1.
Perlawanan terhadap PORTUGIS
Kedatangan bangsa Portugis ke Indonesia menjadi ancaman bagi
kerajaan-kerajaan di Indonesia. Tidak heran jika sejak awal kedatangannya,
terjadi periawanan dari kerajaan-kerajaan di Indonesia terhadap Portugis.
Contoh perlawanan kerajaan di Indonesia terhadap Portugis sebagai berikut.
a.
Perlawanan Sultan
Baabullah terhadap Portugis Pada tahun 1512
Setelah
mengetahui Ternate menjadi pusat utama perdagangan rempah-rempah di Maluku,
Portugis berniat memonopoli perdagangan rempah-rempah di Ternate. Bahkan,
Portugis ikut campur dalam urusan pemerintahan di Ternate. Tindakan Portugis
tersebut akhirnya memancing kemarahan rakyat Ternate. Pada masa pemerintahan
Sultan Hairun (1534-1570), rakyat Ternate bangkit melakukan perlawanan terhadap
Portugis. Sultan Hairun mengobarkan perang mengusir Portugis dari Ternate.
Perlawanan itu telah mengancam kedudukan Portugis di Maluku. Keberadaan Aceh
dan Demak yang terus mengancam kedudukan Portugis di Malaka telah menyebabkan
Portugis di Maluku kesulitan mendapat bantuan. Oleh karena itu, Gubernur
Portugis di Maluku, Lopez de Mesquita mengajukan perundingan damai kepada
Sultan Hairun. Selanjutnya, Lopez de Mesquita mengundang Sultan Hairun ke
benteng Sao Paulo.
Dengan
cara tersebut, Sultan Hairun berhasil ditangkap dan dibunuh oleh Lopez de
Mesquita. Peristiwa itu semakin memicu kemarahan rakyat. Bahkan, rakyat seluruh
Maluku dapat bersatu melawan Portugis. Di bawah kepemimpinan Sultan Baabullah
(1570-1583). rakyat menyerang pos-pos perdagangan dan pertahanan Portugis di
Maluku. Benteng Sao Paolo dikepung selama lima tahun. Strategi tersebut
berhasil mengalahkan Portugis. Pada tahun 1575 Portugis meninggalkan Maluku.
Setelah kepergian Portugis, Ternate berkembang menjadi kerajaan Islam terkuat
di Maluku.
Sultan
Baabullah berhasil membawa Ternate mencapai puncak kejayaan. Wilayah kekuasaan
Ternate membentang dari Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Timur di
bagian barat hingga Kepulauan Marshall di bagian timur, dari Filipina Selatan
di bagian utara hingga Kepulauan Kai dan Nusa Tenggara di bagian selatan.
Setiap wilayah atau daerah ditempatkan wakil sultan yang disebut sangaji.
Sultan Baabullah selanjutnya dijuluki "penguasa 72 pulau".
Pulau-pulau tersebut semuanya berpenghuni dan memiliki raja yang tunduk kepada
Sultan Baabullah.
b.
Perlawanan Kerajaan
Aceh terhadap Portugis
S.
Iakandar Muda |
c.
Perlawanan Kerajaan
Demak terhadap Portugis
Pati
Unus |
2.
Perlawanan terhadap VOC
Sebagaimana telah diuraikan, setelah bangsa Portugis
menguasai beberapa wilayah Nusantara, berdatanganlah kemudian bangsa Belanda.
Mereka kemudian saling bersaing dalam perdagangan. Untuk menghindari kerugian
dari persaingan itu pada pada tanggal 20 Maret 1602 orang-orang Belanda
kemudian membentuk Vereenigde Oost Indische Compagnic (VOC). Dalam
perkembangannya VOC berhasil menanamkan kekuasaannya di Indonesia.Keberadaan
dan kebijakan VOC ternyata sangat merugikan rakyat Indonesia. Oleh karena itu
rakyat Indonesia kemudian mengadakan perlawanan terhadap VOC. Adapun perlawanan
rakyat Indonesia terhadap kekuasaan VOC antara lain adalah sebagai berikut.
a.
Perlawanan Kesultanan
Mataram
Pada
awalnya Mataram dengan Belanda menjalin hubungan baik. Belanda diijinkan
mendirikan benteng (loji) untuk kantor dagang di Jepara. Belanda juga memberikan
dua meriam terbaik untuk kerajaan Mataram. Dalam perkembangannya, terjadi
perselisihan antara Mataram-Belanda. Pada tanggal 8 November 1618 Gubernur
Jendral VOC Jan Pieterzoon Coen memerintahkan Van der Marct menyerang Jepara.
Peristiwa tersebut yang memperuncing perselisihan antara Mataram dengan
Belanda.
Sultan
Agung Hanyokrokusumo |
Mataram
segera mempersiapkan serangan kedua Kali ini pasukan Mataram dipimpin Kyai
Adipati Juminah, K.A. Puger, dan K.A. Purbaya. Serangan dimulai tanggal 1
Agustus dan berakhir 1 Oktober 1629. Serangan kedua inipun gagal. Selain karena
faktor kelemahan pada serangan pertama, lumbung padi persediaan makanan banyak
dihancurkan Belanda. Di samping Sultan Agung, perlawanan terhadap kekuasaan VOC
juga dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi dan Mas Said. Serangan pertama ini
gagal dikarenakan : Mataram kurang teliti memperhitungkan medan pertempuran,
Kekurangan perbekalan, Kalah persenjataan
b.
Perlawanan Keultanan
Gowa
Dalam
lalu lintas perdagangan Gowa menjadi bandar antara jalur perdagangan Malaka dan
Maluku. Sebelum rempah-rempah dari Maluku dibawa sampai ke Malaka, maka singgah
dahulu di Gowa, begitu juga sebaliknya. Melihat kedudukan Gowa yang begitu
penting, maka VOC ingin sekali menguasai bandar di Gowa. Usaha yang dilakukan
antara lain: tahun 1634, VOC melakukan blokade terhadap Pelabuhan Sombaopu. Di
samping itu kapal-kapal VOC juga diperintahkan untuk merusak dan menangkap
kapal-kapal priburni maupun kapal-kapal asing.Menghadapi. perkembangan yang
semakin genting itu, maka raja Gowa, Sultan Hasanuddin mempersiapkan pasukan
dengan segala perlengkapan untuk menghadapi VOC. Beberapa kerajaan sekutu Gowa
juga disiapkan. Benteng-benteng dibangun di sepanjang pantai kerajaan.
Sementara itu VOC dalam rangka menerapkan politik adu domba, telah menjalin
hubungan dengan seorang pangeran Bugis, dari Bone bernama La Tenritatta to’Unru
yang lebih terkenal dengan nama Arung Palaka.Meletuslah perang antara VOC
dengan Gowa pada 7 Juli 1667. Tentara VOC dipimpin Spelman yang diperkuat
pengikut Arung Palaka menggempur Gowa. Karena kalah persenjataan, Benteng
pertahanan tentara Gowa di Barombang dapat diduduki oleh pasukan Arung Palaka. Perselisihan
ini diakhiri dengan ditandatanganinya perjanjian Bongaya yang isinya sebagai
berikut.
1)
Gowa harus mengakui hak
monopoli.
2)
Semua orang Barat,
kecuali Belanda harus meninggalkan wilayah kekuasaan Gowa.
3)
Gowa harus membayar
biaya perang.
4)
Di Makasar dibangun
benteng-benteng VOC
Pada
mulanya perjanjian Bongaya itu tidak ingin dilaksanakan. Bahkan Hasanuddin
mengobarkan perlawanan kembali pada bulan April 1668. Namun perlawanan ini pun
dapat dipadamkan, sehingga terpaksa isi peanjian Bongaya dilaksanakan. Benteng
pertahanan Gowa diserahkan kepada VOC dan oleh Spelman kcmudian diberi nama
Benteng Rotterdam.
3.
Perlawanan terhadap Pemerintahan Hindia Belanda
a.
Perang Saparua di
Ambon
Pattimura |
b.
Perang Paderi di
Sumatra Barat
c.
Perang Diponegoro 1825-1830
Pangeran
Diponegoro |
d.
Perang Aceh
Semangat
jihad (perang membela agama Islam) merupakan spirit perlawanan rakyat Aceh
terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Jendral Kohler terbunuh saat pertempuran di
depan masjid Baiturrahman Banda Aceh. Kohler meninggal dekat sebuah pohon yang
sekarang diberi nama Pohon Kohler. Siasat konsentrasi stelsel dengan sistem
bertahan dalam benteng besar oleh Belanda tidak berhasil dalam perang itu.
Belanda semakin terdesak, korban semakin besar, dan keuangan terus terkuras.
Snouck Hurgroje Pemerintah Hindia Belanda sama sekali kewalahan dan tidak mampu
menghadapi secara fisik perlawanan rakyat Aceh. Menyadari hal tersebut, Belanda
mengutus Dr. Snouck Hurgroje yang memakai nama samaran Abdul Gafar (seorang
ahli bahasa, sejarah ,dan sosial Islam) untuk mencari kelemahan rakyat Aceh.
Setelah
lama belajar di Arab, Snouck Hugronje memberikan saran-saran kepada Belanda
mengenai cara mengalahkan orang Aceh. Menurut Hurgronje, Aceh tidak mungkin
dilawan dengan kekerasan, sebab karakter orang Aceh adalah pantang menyerah,
jiwa jihad orang Aceh sangat tinggi. Taktik yang paling mujarab adalah
dengan mengadu domba antara golongan Uleebalang (bangsawan) dengan ulama.
Pemerintah Hindia Belanda kemudian menjanjikan kedudukan pada Uleebalang yang
bersedia damai. Taktik ini berhasil, banyak Uleebalang yang tertarik pada
tawaran Belanda. Belanda memberikan tawaran kedudukan kepada para Uleebalang
apabila kaum ulama dapat dikalahkan. Sejak tahun 1898 kedudukan Aceh semakin
terdesak. Belanda mengumumkan perang Aceh selesai tahun 1904. Namun demikian
perlawanan rakyat Aceh secara sporadis masih berlangsung hingga tahun 1930-an.
e.
Perlawanan
Sisingamangaraja di Sumatra Utara
Perlawanan
terhadap Pemerintah Hindia Belanda di Sumatra Utara dipimpin oleh
Sisingamangaraja XII, Perlawanan di Sumatra Utara berlangsung cukup lama, yaitu
selama 24 tahun. Pertempuran diawali dari Bahal Batu sebagai pusat pertahanan
Belanda tahun 1877. Untuk menghadapi Perang Batak (sebutan perang di
Sumatra Utara), Pemerintah Hindia Belanda menarik pasukan dari Aceh. Pasukan
Sisingamangaraja dapat dikalahkan setelah Kapten Christoffel berhasil mengepung
benteng terakhir Sisingamangaraja di Pakpak. Kedua putra beliau Patuan Nagari
dan Patuan Anggi ikut gugur dalam pertempuran tersebut, sehingga seluruh
Tapanuli dapat dikuasai Belanda.
f.
Perang Banjar
Pangeran
Antasari Perang Banjar berawal ketika Pemerintah Hindia Belanda ikut campur
tangan dalam urusan pergantian raja di Kerajaan Banjarmasin. Belanda memberi
dukungan kepada Pangeran Tamjid Ullah yang tidak disukai oleh rakyat. Pangeran
Antasari dengan kekuatan 300 prajurit menyerang tambang batu bara milik Belanda
di Pengaron pada tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi peperangan
dilakukan oleh Pangeran antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Pangeran
Antasari menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah
Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu dengan dibantu
para panglima dan prajuritnya yang setia. Pemberontakan dilakukan oleh Prabu
Anom dan Pangeran Hidayat. Pada tahun 1859, Pangeran Antasari memimpin
perlawanan setelah Prabu Anom tertangkap Belanda, dengan bantuan pasukan dari
Belanda, pasukan Pangeran Antasari dapat didesak. Tahun 1862 Pangeran Hidayat
menyerah dan berakhirlah perlawanan rakyat Banjar di pulau Kalilmantan.
Perlawanan baru benar-benar dapat dipadamkan pada tahun 1866.
g.
Perang Jagaraga di
Bali
Perang
Jagaraga berawal saat Pemerintah Hindia Belanda dan kerajaan di Bali
bersengketa tentang hak tawan karang. Hak tawan karang berisi peraturan bahwa
setiap kapal yang kandas di perairan Bali merupakan hak penguasa di daerah
tersebut. Pemerintah Belanda memprotes Raja Buleleng yang menyita dua kapal
milik Belanda. Raja Buleleng tidak mau menerima tuntutan Belanda untuk
mengembalikan kedua kapalnya, persengketaan ini menyebabkan Belanda melakukan
serangan terhadap kerajaan Buleleng tahun 1846. Belanda berhasil menguasai
kerajaan Buleleng, sementara Raja Buleleng menyingkir ke Jagaraga dengan
dibantu oleh Kerajaan Karangasem.
Setelah
berhasil merebut Benteng Jagaraga, Pemerintah Hindia Belanda melanjutkan
ekspedisi militernya pada tahun 1849. Dua kerajaan Bali, Gianyar dan Klungkung
menjadi sasaran Belanda. Tahun 1906, seluruh kerajaan di Bali jatuh ke pihak
Pemerintah Hindia Belanda setelah rakyat melakukan perang habis-habisan sampai
mati, yang dikenal dengan Perang Puputan.
h.
Perang Tondano di
Sulawesi Utara
Perang
Tondano terjadi pada masa penjajahan HIndia Belanda, baik pada masa VOC maupun
pada masa Pemerintah Hindia Belanda. Bangsa Spanyol sudah sampai di tanah
Minahasa (Tondano) Sulawesi Utara sebelum kedatangan bangsa Belanda. Hubungan
dagang orang Minahasa dengan Spanyol terus berkembang. Tetapi mulai abad XVII
hubungan dagang antara mereka mulai terganggu dengan kehadiran para pedagang
dari Belanda. Waktu itu VOC berhasil menanamkan pengaruhnya di Ternate. VOC
berusaha memaksakan kehendak mereka mereka agar orang-orang Minahasa menjual
hasil berasnya kepada VOC. Orang-orang Minahasa menentang usaha monopoli dari
VOC tersebut. Tidak ada pilihan lain bagi VOC, mereka memilih upaya memerangi
orang-orang Minahasa. Untuk melemahkan orang-orang Minahasa, VOC kemudian
membendung Sungai Temberan. Akibatnya aliran sungai tersebut meluap dan
menggenangi tempat tinggal rakyat dan para pejuang Minahasa. Orang-orang
Minahasa kemudian pindah ke Danau Tondano dengan rumah-rumah apung. Perang
Tondano terjadi lagi pada abad ke-19.
Perang
ini dilatarbelakangi oleh kebijakan Gubernur Jenderal Daendels. Pada kebijakan
itu, Minahasa dijatah untuk mengumpulkan calon pasukan sejumlah 2000 orang yang
akan dikirim ke Jawa. Orang-orang Minahasa umumnya tidak setuju dengan program Belanda
untuk merekrut pemuda-pemuda Minahasa sebagai pasukan kolonial. Banyak di
antara para ukung mulai meninggalkan rumah. Mereka justru mengadakan perlawanan
terhadap Belanda. Gubernur Prediger mengirim pasukan untuk menyerang pertahanan
orang-orang Minahasa di Tondano-Minawanua. Belanda menerapkan strategi dengan
membendung Sungai Temberan lagi. Prediger juga membentuk dua pasukan tangguh.
Pasukan pertama dipersiapkan untuk menyerang dari Danau Tondano dan pasukan
yang lain menyerang Minawanua dari darat. Tanggal 23 Oktober 1808 pertempuran
mulai berlangsung dengan sengit.
Pasukan
Hindia Belanda yang berpusat di Danau Tondano berhasil melakukan serangan dan
merusak pagar bamu berduri yang membatasi danau dengan perkampungan Minawanua,
sehingga menerobos pertahanan orang-orang Minahasa di Minawanua. Karena waktu
sudah malam maka para pejuang dengan semangat yang tinggi terus bertahan dan
melakukan perlawanan dari rumah ke rumah. Pasukan Belanda merasa kewalahan.
Setelah pagi hari tanggal 24 Oktober 1808 pasukan Belanda dari darat
membombardir kampung pertahanan Minawanua. Serangan terus dilakukan Belanda
sehingga kampung itu seperti tidak ada lagi kehidupan. Pasukan Prediger mulai
mengendorkan serangannya. Tiba-tiba dari arah perkampungan itu orang-orang Tondano
muncul dan menyerang dengan hebatnya sehingga korbanpun berjatuhan dari pihak
Belanda. Pasukan Pemerintah Hindia Belanda kewalahan dan terpaksa ditarik
mundur. Seiring dengan itu Sungai Temberan yang dibendung mulai meluap sehingga
mempersulit pasukan Belanda sendiri. Dari jarak jauh Belanda terus menghujani
meriam ke Kampung Minawanua, tetapi tentu tidak efektif. Begitu juga serangan
yang dari danau tidak mampu mematahkan semangat juang orang-orang
Tondano-Minawanua. Bahkan terpetikik berita kapal yang paling besar yang di
danau tenggelam. Perang Tondano II ini berlangsung cukup lama, sampai bulan
Agustus 1809.
Dalam
suasana kepenatan dan kekurangan makanan mulai ada kelompok dari pejuang yang
mulai memihak kepada Hindia Belanda. Namun dengan kekuatan dan semangat yang
ada para pejuang Tondano terus memberikan perlawanan atas gempuran pasukan
Belanda yang terus menerus. Akhirnya pada tanggal 4-5 Agustus 1809 Benteng
pertahanan Moraya milik para pejuang hancur bersama rakyat yang berusaha
mempertahankan. Para pejuang itu memilih mati dari pada menyerah. Mayat-mayat
mereka telah lenyap di dasar danau bersama lenyapnya kemerdekaan dan kedaulatan
tanah Minahasa.
Setelah
mengetahui Ternate menjadi pusat utama perdagangan rempah-rempah di Maluku,
Portugis berniat memonopoli perdagangan rempah-rempah di Ternate. Bahkan,
Portugis ikut campur dalam urusan pemerintahan di Ternate. Tindakan Portugis
tersebut akhirnya memancing kemarahan rakyat Ternate. Pada masa pemerintahan
Sultan Hairun (1534-1570), rakyat Ternate bangkit melakukan perlawanan terhadap
Portugis. Sultan Hairun mengobarkan perang mengusir Portugis dari Ternate.
Perlawanan itu telah mengancam kedudukan Portugis di Maluku. Keberadaan Aceh
dan Demak yang terus mengancam kedudukan Portugis di Malaka telah menyebabkan
Portugis di Maluku kesulitan mendapat bantuan. Oleh karena itu, Gubernur
Portugis di Maluku, Lopez de Mesquita mengajukan perundingan damai kepada
Sultan Hairun. Selanjutnya, Lopez de Mesquita mengundang Sultan Hairun ke
benteng Sao Paulo.
Dengan
cara tersebut, Sultan Hairun berhasil ditangkap dan dibunuh oleh Lopez de
Mesquita. Peristiwa itu semakin memicu kemarahan rakyat. Bahkan, rakyat seluruh
Maluku dapat bersatu melawan Portugis. Di bawah kepemimpinan Sultan Baabullah
(1570-1583). rakyat menyerang pos-pos perdagangan dan pertahanan Portugis di
Maluku. Benteng Sao Paolo dikepung selama lima tahun. Strategi tersebut
berhasil mengalahkan Portugis. Pada tahun 1575 Portugis meninggalkan Maluku.
Setelah kepergian Portugis, Ternate berkembang menjadi kerajaan Islam terkuat
di Maluku.
Sultan
Baabullah berhasil membawa Ternate mencapai puncak kejayaan. Wilayah kekuasaan
Ternate membentang dari Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Timur di
bagian barat hingga Kepulauan Marshall di bagian timur, dari Filipina Selatan
di bagian utara hingga Kepulauan Kai dan Nusa Tenggara di bagian selatan.
Setiap wilayah atau daerah ditempatkan wakil sultan yang disebut sangaji.
Sultan Baabullah selanjutnya dijuluki "penguasa 72 pulau".
Pulau-pulau tersebut semuanya berpenghuni dan memiliki raja yang tunduk kepada
Sultan Baabullah.
b.
Perlawanan Kerajaan
Aceh terhadap Portugis
S.
Iakandar Muda |
c.
Perlawanan Kerajaan
Demak terhadap Portugis
Pati
Unus |
2.
Perlawanan terhadap VOC
Sebagaimana telah diuraikan, setelah bangsa Portugis
menguasai beberapa wilayah Nusantara, berdatanganlah kemudian bangsa Belanda.
Mereka kemudian saling bersaing dalam perdagangan. Untuk menghindari kerugian
dari persaingan itu pada pada tanggal 20 Maret 1602 orang-orang Belanda
kemudian membentuk Vereenigde Oost Indische Compagnic (VOC). Dalam
perkembangannya VOC berhasil menanamkan kekuasaannya di Indonesia.Keberadaan
dan kebijakan VOC ternyata sangat merugikan rakyat Indonesia. Oleh karena itu
rakyat Indonesia kemudian mengadakan perlawanan terhadap VOC. Adapun perlawanan
rakyat Indonesia terhadap kekuasaan VOC antara lain adalah sebagai berikut.
a.
Perlawanan Kesultanan
Mataram
Pada
awalnya Mataram dengan Belanda menjalin hubungan baik. Belanda diijinkan
mendirikan benteng (loji) untuk kantor dagang di Jepara. Belanda juga memberikan
dua meriam terbaik untuk kerajaan Mataram. Dalam perkembangannya, terjadi
perselisihan antara Mataram-Belanda. Pada tanggal 8 November 1618 Gubernur
Jendral VOC Jan Pieterzoon Coen memerintahkan Van der Marct menyerang Jepara.
Peristiwa tersebut yang memperuncing perselisihan antara Mataram dengan
Belanda.
Sultan
Agung Hanyokrokusumo |
Mataram
segera mempersiapkan serangan kedua Kali ini pasukan Mataram dipimpin Kyai
Adipati Juminah, K.A. Puger, dan K.A. Purbaya. Serangan dimulai tanggal 1
Agustus dan berakhir 1 Oktober 1629. Serangan kedua inipun gagal. Selain karena
faktor kelemahan pada serangan pertama, lumbung padi persediaan makanan banyak
dihancurkan Belanda. Di samping Sultan Agung, perlawanan terhadap kekuasaan VOC
juga dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi dan Mas Said. Serangan pertama ini
gagal dikarenakan : Mataram kurang teliti memperhitungkan medan pertempuran,
Kekurangan perbekalan, Kalah persenjataan
b.
Perlawanan Keultanan
Gowa
Dalam
lalu lintas perdagangan Gowa menjadi bandar antara jalur perdagangan Malaka dan
Maluku. Sebelum rempah-rempah dari Maluku dibawa sampai ke Malaka, maka singgah
dahulu di Gowa, begitu juga sebaliknya. Melihat kedudukan Gowa yang begitu
penting, maka VOC ingin sekali menguasai bandar di Gowa. Usaha yang dilakukan
antara lain: tahun 1634, VOC melakukan blokade terhadap Pelabuhan Sombaopu. Di
samping itu kapal-kapal VOC juga diperintahkan untuk merusak dan menangkap
kapal-kapal priburni maupun kapal-kapal asing.Menghadapi. perkembangan yang
semakin genting itu, maka raja Gowa, Sultan Hasanuddin mempersiapkan pasukan
dengan segala perlengkapan untuk menghadapi VOC. Beberapa kerajaan sekutu Gowa
juga disiapkan. Benteng-benteng dibangun di sepanjang pantai kerajaan.
Sementara itu VOC dalam rangka menerapkan politik adu domba, telah menjalin
hubungan dengan seorang pangeran Bugis, dari Bone bernama La Tenritatta to’Unru
yang lebih terkenal dengan nama Arung Palaka.Meletuslah perang antara VOC
dengan Gowa pada 7 Juli 1667. Tentara VOC dipimpin Spelman yang diperkuat
pengikut Arung Palaka menggempur Gowa. Karena kalah persenjataan, Benteng
pertahanan tentara Gowa di Barombang dapat diduduki oleh pasukan Arung Palaka. Perselisihan
ini diakhiri dengan ditandatanganinya perjanjian Bongaya yang isinya sebagai
berikut.
1)
Gowa harus mengakui hak
monopoli.
2)
Semua orang Barat,
kecuali Belanda harus meninggalkan wilayah kekuasaan Gowa.
3)
Gowa harus membayar
biaya perang.
4)
Di Makasar dibangun
benteng-benteng VOC
Pada
mulanya perjanjian Bongaya itu tidak ingin dilaksanakan. Bahkan Hasanuddin
mengobarkan perlawanan kembali pada bulan April 1668. Namun perlawanan ini pun
dapat dipadamkan, sehingga terpaksa isi peanjian Bongaya dilaksanakan. Benteng
pertahanan Gowa diserahkan kepada VOC dan oleh Spelman kcmudian diberi nama
Benteng Rotterdam.
3.
Perlawanan terhadap Pemerintahan Hindia Belanda
a.
Perang Saparua di
Ambon
Pattimura |
b.
Perang Paderi di
Sumatra Barat
c.
Perang Diponegoro 1825-1830
Pangeran
Diponegoro |
d.
Perang Aceh
Semangat
jihad (perang membela agama Islam) merupakan spirit perlawanan rakyat Aceh
terhadap Pemerintah Hindia Belanda. Jendral Kohler terbunuh saat pertempuran di
depan masjid Baiturrahman Banda Aceh. Kohler meninggal dekat sebuah pohon yang
sekarang diberi nama Pohon Kohler. Siasat konsentrasi stelsel dengan sistem
bertahan dalam benteng besar oleh Belanda tidak berhasil dalam perang itu.
Belanda semakin terdesak, korban semakin besar, dan keuangan terus terkuras.
Snouck Hurgroje Pemerintah Hindia Belanda sama sekali kewalahan dan tidak mampu
menghadapi secara fisik perlawanan rakyat Aceh. Menyadari hal tersebut, Belanda
mengutus Dr. Snouck Hurgroje yang memakai nama samaran Abdul Gafar (seorang
ahli bahasa, sejarah ,dan sosial Islam) untuk mencari kelemahan rakyat Aceh.
Setelah
lama belajar di Arab, Snouck Hugronje memberikan saran-saran kepada Belanda
mengenai cara mengalahkan orang Aceh. Menurut Hurgronje, Aceh tidak mungkin
dilawan dengan kekerasan, sebab karakter orang Aceh adalah pantang menyerah,
jiwa jihad orang Aceh sangat tinggi. Taktik yang paling mujarab adalah
dengan mengadu domba antara golongan Uleebalang (bangsawan) dengan ulama.
Pemerintah Hindia Belanda kemudian menjanjikan kedudukan pada Uleebalang yang
bersedia damai. Taktik ini berhasil, banyak Uleebalang yang tertarik pada
tawaran Belanda. Belanda memberikan tawaran kedudukan kepada para Uleebalang
apabila kaum ulama dapat dikalahkan. Sejak tahun 1898 kedudukan Aceh semakin
terdesak. Belanda mengumumkan perang Aceh selesai tahun 1904. Namun demikian
perlawanan rakyat Aceh secara sporadis masih berlangsung hingga tahun 1930-an.
e.
Perlawanan
Sisingamangaraja di Sumatra Utara
Perlawanan
terhadap Pemerintah Hindia Belanda di Sumatra Utara dipimpin oleh
Sisingamangaraja XII, Perlawanan di Sumatra Utara berlangsung cukup lama, yaitu
selama 24 tahun. Pertempuran diawali dari Bahal Batu sebagai pusat pertahanan
Belanda tahun 1877. Untuk menghadapi Perang Batak (sebutan perang di
Sumatra Utara), Pemerintah Hindia Belanda menarik pasukan dari Aceh. Pasukan
Sisingamangaraja dapat dikalahkan setelah Kapten Christoffel berhasil mengepung
benteng terakhir Sisingamangaraja di Pakpak. Kedua putra beliau Patuan Nagari
dan Patuan Anggi ikut gugur dalam pertempuran tersebut, sehingga seluruh
Tapanuli dapat dikuasai Belanda.
f.
Perang Banjar
Pangeran
Antasari Perang Banjar berawal ketika Pemerintah Hindia Belanda ikut campur
tangan dalam urusan pergantian raja di Kerajaan Banjarmasin. Belanda memberi
dukungan kepada Pangeran Tamjid Ullah yang tidak disukai oleh rakyat. Pangeran
Antasari dengan kekuatan 300 prajurit menyerang tambang batu bara milik Belanda
di Pengaron pada tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi peperangan
dilakukan oleh Pangeran antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Pangeran
Antasari menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah
Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu dengan dibantu
para panglima dan prajuritnya yang setia. Pemberontakan dilakukan oleh Prabu
Anom dan Pangeran Hidayat. Pada tahun 1859, Pangeran Antasari memimpin
perlawanan setelah Prabu Anom tertangkap Belanda, dengan bantuan pasukan dari
Belanda, pasukan Pangeran Antasari dapat didesak. Tahun 1862 Pangeran Hidayat
menyerah dan berakhirlah perlawanan rakyat Banjar di pulau Kalilmantan.
Perlawanan baru benar-benar dapat dipadamkan pada tahun 1866.
g.
Perang Jagaraga di
Bali
Perang
Jagaraga berawal saat Pemerintah Hindia Belanda dan kerajaan di Bali
bersengketa tentang hak tawan karang. Hak tawan karang berisi peraturan bahwa
setiap kapal yang kandas di perairan Bali merupakan hak penguasa di daerah
tersebut. Pemerintah Belanda memprotes Raja Buleleng yang menyita dua kapal
milik Belanda. Raja Buleleng tidak mau menerima tuntutan Belanda untuk
mengembalikan kedua kapalnya, persengketaan ini menyebabkan Belanda melakukan
serangan terhadap kerajaan Buleleng tahun 1846. Belanda berhasil menguasai
kerajaan Buleleng, sementara Raja Buleleng menyingkir ke Jagaraga dengan
dibantu oleh Kerajaan Karangasem.
Setelah
berhasil merebut Benteng Jagaraga, Pemerintah Hindia Belanda melanjutkan
ekspedisi militernya pada tahun 1849. Dua kerajaan Bali, Gianyar dan Klungkung
menjadi sasaran Belanda. Tahun 1906, seluruh kerajaan di Bali jatuh ke pihak
Pemerintah Hindia Belanda setelah rakyat melakukan perang habis-habisan sampai
mati, yang dikenal dengan Perang Puputan.
h.
Perang Tondano di
Sulawesi Utara
Perang
Tondano terjadi pada masa penjajahan HIndia Belanda, baik pada masa VOC maupun
pada masa Pemerintah Hindia Belanda. Bangsa Spanyol sudah sampai di tanah
Minahasa (Tondano) Sulawesi Utara sebelum kedatangan bangsa Belanda. Hubungan
dagang orang Minahasa dengan Spanyol terus berkembang. Tetapi mulai abad XVII
hubungan dagang antara mereka mulai terganggu dengan kehadiran para pedagang
dari Belanda. Waktu itu VOC berhasil menanamkan pengaruhnya di Ternate. VOC
berusaha memaksakan kehendak mereka mereka agar orang-orang Minahasa menjual
hasil berasnya kepada VOC. Orang-orang Minahasa menentang usaha monopoli dari
VOC tersebut. Tidak ada pilihan lain bagi VOC, mereka memilih upaya memerangi
orang-orang Minahasa. Untuk melemahkan orang-orang Minahasa, VOC kemudian
membendung Sungai Temberan. Akibatnya aliran sungai tersebut meluap dan
menggenangi tempat tinggal rakyat dan para pejuang Minahasa. Orang-orang
Minahasa kemudian pindah ke Danau Tondano dengan rumah-rumah apung. Perang
Tondano terjadi lagi pada abad ke-19.
Perang
ini dilatarbelakangi oleh kebijakan Gubernur Jenderal Daendels. Pada kebijakan
itu, Minahasa dijatah untuk mengumpulkan calon pasukan sejumlah 2000 orang yang
akan dikirim ke Jawa. Orang-orang Minahasa umumnya tidak setuju dengan program Belanda
untuk merekrut pemuda-pemuda Minahasa sebagai pasukan kolonial. Banyak di
antara para ukung mulai meninggalkan rumah. Mereka justru mengadakan perlawanan
terhadap Belanda. Gubernur Prediger mengirim pasukan untuk menyerang pertahanan
orang-orang Minahasa di Tondano-Minawanua. Belanda menerapkan strategi dengan
membendung Sungai Temberan lagi. Prediger juga membentuk dua pasukan tangguh.
Pasukan pertama dipersiapkan untuk menyerang dari Danau Tondano dan pasukan
yang lain menyerang Minawanua dari darat. Tanggal 23 Oktober 1808 pertempuran
mulai berlangsung dengan sengit.
Pasukan
Hindia Belanda yang berpusat di Danau Tondano berhasil melakukan serangan dan
merusak pagar bamu berduri yang membatasi danau dengan perkampungan Minawanua,
sehingga menerobos pertahanan orang-orang Minahasa di Minawanua. Karena waktu
sudah malam maka para pejuang dengan semangat yang tinggi terus bertahan dan
melakukan perlawanan dari rumah ke rumah. Pasukan Belanda merasa kewalahan.
Setelah pagi hari tanggal 24 Oktober 1808 pasukan Belanda dari darat
membombardir kampung pertahanan Minawanua. Serangan terus dilakukan Belanda
sehingga kampung itu seperti tidak ada lagi kehidupan. Pasukan Prediger mulai
mengendorkan serangannya. Tiba-tiba dari arah perkampungan itu orang-orang Tondano
muncul dan menyerang dengan hebatnya sehingga korbanpun berjatuhan dari pihak
Belanda. Pasukan Pemerintah Hindia Belanda kewalahan dan terpaksa ditarik
mundur. Seiring dengan itu Sungai Temberan yang dibendung mulai meluap sehingga
mempersulit pasukan Belanda sendiri. Dari jarak jauh Belanda terus menghujani
meriam ke Kampung Minawanua, tetapi tentu tidak efektif. Begitu juga serangan
yang dari danau tidak mampu mematahkan semangat juang orang-orang
Tondano-Minawanua. Bahkan terpetikik berita kapal yang paling besar yang di
danau tenggelam. Perang Tondano II ini berlangsung cukup lama, sampai bulan
Agustus 1809.
Dalam
suasana kepenatan dan kekurangan makanan mulai ada kelompok dari pejuang yang
mulai memihak kepada Hindia Belanda. Namun dengan kekuatan dan semangat yang
ada para pejuang Tondano terus memberikan perlawanan atas gempuran pasukan
Belanda yang terus menerus. Akhirnya pada tanggal 4-5 Agustus 1809 Benteng
pertahanan Moraya milik para pejuang hancur bersama rakyat yang berusaha
mempertahankan. Para pejuang itu memilih mati dari pada menyerah. Mayat-mayat
mereka telah lenyap di dasar danau bersama lenyapnya kemerdekaan dan kedaulatan
tanah Minahasa.
Semoga Bermanfaat - Chusnul Chotimah
(Pengajar Sejarah di MAN 2 Kebumen)