. Strategi Pergerakan Nasional di Indonesia
Bentuk dan strategi organisasi pergerakan nasional dalam menghadapi kekuatan kolonial Belanda memiliki perbedaan satu dengan yang lainnya, sekalipun mempunyai tujuan yang sama yaitu mencapai kemerdekaan Indonesia. Bentuknya ada yang berupa organisasi sosial, politik, kebudayaan, gerakan pemuda, gerakan wanita, gerakan buruh maupun keagamaan. Sedangkan strategi yang digunakan oleh pergerakan nasional secara umum sebagai berikut :
·
Menggunakan organisasi sebagai alat perjuangannnya;
·
Perjuangannya sudah bersifat nasional, bukan
kedaerahan;
·
Tidak menggunakan kekerasan senjata;
·
Perjuangannya dipimpin oleh tokoh-tokoh agama, kaum
terpelajar, tokoh-tokoh pemuda, dan tokoh tokoh masyarakat;
·
Asas perjuangannya ada yang bersifat kooperatif
(tetapi bukan prinsip) dan non-kooperatif.
1.
Perjuangan
Kooperasi
Kemerdekaan ekonomi merupakan syarat
bagi kemerdekaan politik. Kemakmuran rakyat harus didahulukan sebelum berjuang
untuk merdeka sebagai negara.Kegiatan organisasi kebangsaan mengutamakan
perbaikan di bidang ekonomi dan sosial, seperti pendidikan, pembangunan
pedesaan, serta koperasi.Organisasi kebangsaan bersifat lunak dan terbuka untuk
kerja sama dengan pemerintah kolonial. Kerja sama itu antara lain berupa
subsidi.
2.
Perjuangan
Nonkooperasi
Kemerdekaan baik ekonomi maupun
politik harus dicapai dengan usaha sendiri. Mengusahakan kemakmuran rakyat
dalam situasi masih dijajah adalah mustahil.Kegiatan organisasi kebangsaan
mengutamakan bidang politik, melalui pendidikan politik dan pembentukan
organisasi massa.Organisasi kebangsaan bersifat radikal dan menolak kerja sama
dengan pemerintah kolonial dalam bentuk apapun.
Sampai tahun 1912, belum jelas
bentuk perjuangan seperti apakah yang ditempuh oleh organisasi kebangsaan yang
baru tumbuh. Barulah sejak berdirinya Indische Partij, tampak kecenderungan
organisasi kebangsaan menempuh bentuk perjuangan nonkooperasi. Organisasi
kebangsaan lain yang jelas sekali memperlihatkan sikap radikal itu adalah PI
dan PNI.
Setelah gubernur jenderal De Jonge
melakukan pengawasan ketat-bahkan pelarangan terhadap organisasi kebangsaan
yang dianggap berbahaya, bentuk perjuangan beralih menjadi kooperasi. Bentuk
perjuangan itu antara lain ditempuh melalui Volicsraad. Organisasi kebangsaan
yang menempuh bentuk perjuangan itu antara lain PBI, Parindra, dan GAPI.
3.
Masa Radikal
Setelah Perang Dunia I berakhir,
perasaan anti kolonialisme dan anti imperialisme pada bangsa-bangsa terjajah di
Asia dan Afrika semakin menonjol. Lebih-lebih setelah adanya seruan presiden
Amenka Serikat tentang menentukan nasib sendiri bagi
bangsa-bangsa. Partai-partai politik di Indonesia dan negeri Belanda juga
terpengaruh oleh situasi demikian. Kematangan dalam perjuangan dan sikap keras
yang diambil pemerintah kolonial menyebabkan sikap moderat makin ditinggalkan dan
sikap radikal makin menonjol. Sikap radikal ini ditandai oleh taktik
non-kooperasi dari pihak partai-partai politik dan berbagai organisasi
pergerakan nasional. Artinya, dalam memperjuangkan cita-citanva mereka tidak
mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial, terutama di bidang politik.
Semua hal yang diperlukan untuk
mencapai cita-cita itu akan diusahakan sendiri, antara lain dengan memperkokoh
persatuan nasional, memajukan pendidikan, meningkatkan kegiatan-kegiatan sosial
untuk kesejahteraan rakyat dan lain-lain. Mereka juga tidak mau memasuki
dewan-dewan perwakilan rakyat yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Belanda
baik di pusat maupun di daerah. Taktik non-kooperasi pada masa radikal ini
dilakukan oleh organisasi-organisasi: Sarekat Islam (SI), Perhimpunan Indonesia
(PI), Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Proses radikalisasi ini bertambah kuat sejak tahun 1921, hal ini antara lain
disebabkan oleh timbulnya krisis ekonomi pada tahun 1921 dan lariisis
perusahaan g-ula sejak tahun 1918, Pergantian kepala pemerintahan dengan
Gubernur Jendral Fock yang bersifat sangat reaksioner, dan Kebijakan politiknya
sering mengabaikan kekuatan ralcyat yang sedang berkembang.
4.
Masa Moderat
Masa radikal pergerakan nasional
mulai berakhir sejak tahun 1930. Kemunduran itu bukan disebabkan kurang
radikalnya pemimpin-pemimpin Indonesia, melainkan oleh sebab-sebab di luar
kekuasaan mereka yaitu Krisis ekonomi dunia yang juga melanda Indonesia. Krisis
tersebut mempengaruhi ekonomi Hindia Belanda yang justru menjadi tujuan utama
penjajahan.Tindakan pemerintah semakin keras terhadap partai politik,
lebih-lebih tindakan Gubernur Jenderal de Jonge yang sangat konservatif dan
reaksioner.
Secara nyata memang partai-partai
tidak dilarang atau dimatikan sama sekali. Tetapi gerak-gerik mereka sangat
dibatasi. Mula-mula dikeluarkan peraturan larangan berkumpul, kemudian sekolah
swasta nasional dinilai sebagai sekolah liar. Sekolah Swasta Nasional banyak
melahirkan bibit-bibit nasionalisme yang sangat berbahaya. Untuk
memberantasnya dikeluarkan Ordonansi Sekolah Liar, yang melarang kelanjutan
sekolah tersebut. Di samping itu, anggota-anggota polisi rahasia memata-matai,
melakukan penggeledahan dan penangkapan terhadap orang-orang yang dicurigai.
Kadang-kadang sikap polisi itu sudah sangat berlebihan.
Akibat kebijakan politik kolonial
yang sangat menindas itu, partai-partai politik kehilangan kontak dengan
rakyat. Lebih dari itu banyak media komunikasi massa yang diberangus. Karena
keadaan vang tidak menentu semacam itu, akhirnya para pemimpin pergerakan
nasional mengganti taktik perjuangan dari radikal non-kooperatif menjadi taktik
moderat kooperatif. Organisasi-organisasi pergerakan nasional yang muncul
pada masa moderat adalah Partai Indonesia Raya (Parindra), Gerakan Rakyat
Indonesia (Gerindo), dan Gabungan Politik Indonesia (GAPI). Golongan kooperatif
ini mencoba memanfaatkan Volksraad untuk kepentingan rakyat. Beberapa partai
dan organisasi nasional mempunyai wakil dalam Volksraad.
Untuk memperkuat persatuan di antara
wakil-wakil bangsa Indonesia yang duduk dalam Volksraad, pada tanggal 27
Januari 1930, Mohammad Husni Thamrin membentuk Fraksi Nasional. Seperti partai
atau organisasi nasional lainnya, Fraksi Nasional menuntut adanya perubahan
tata negara dan penghapusan terhadap diskriminasi di bidang politik, ekonomi,
dan sosial. Masalah politik, seperti penangkapan dan pembuangan semena-mena
terhadap tokoh-tokoh pergerakan nasional diperdebatkan dalam Volksraad. Juga
masalah sosial-budava, seperti Ordonansi Sekolah Liar, pertahanan, dan dampak
depresi ekonomi terhadap rakvat diperdebatkan dalam sidang Volksraad.
Kelumpuhan pergerakan nasional
akibat politik penindasan pemerintah kolonial telah menumbuhkan ide Petisi
Sutarjo. Petisi ini meminta diberikannya pemerintahan sendiri kepada Indonesia
dalam jangka waktu sepuluh tahun. Sebagian besar petisi tersebut didukung oleh
tokoh-tokoh nasionalis dan golongan dalam masyarakat. Golongan Arab, Indo, dan
Cina mendukung petisi dengan harapan jika Indonesia berdiri sendiri, hak dan
kepentingan mereka diakui dan dilindungi. Untuk memperkuat petisi, dijalankan
beberapa aksi, seperti rapat-rapat umum di seluruh Indonesia yang di
selenggarakan oleh Central Committee Petisi Sutarjo.
Beberapa partai dan tokoh nasionalis
yang sudah menyadari betapa konservatifnya kebijakan politik kolonial,
menganggap usul petisi sebagai perbuatan sia-sia. Golongan kapitalis dan pers
Belanda menganggap usul ini terlalu pagi dan diajukan tidak pada saat yang
tepat. Walaupun mendapat kritik bermacam-macam, namun seluruh perhatian
pergerakan nasional dipusatkan pada petisi ini. Tetapi petisi yang sangat lunak
ini ditolak juga oleh pemerintah Belanda pada bulan Oktober 1938, dengan alasan
belum waktunya.
Kegagalan petisi makin meyakinkan
tokoh-tokoh pergerakan nasional bahwa Volksraad bukanlah dewan perwakilan yang
sesungguhnya. Di samping itu, partai-partai politik berusaha mengadakan
penggabungan yang kemudian terjelma dalam Gabungan Politik Indonesia (GAPI)
pada tahun 1939. GAPI menuntut Indonesia berparlemen yang sesungguhnya. Sebagai
realisasi dari usulan GAPI, kemudian dibentuk Komisi Visman oleh pemerintah
dengan tugas menyelidiki hasrat dan keinginan golongan-golongan dalam
masyarakat yang ada di Indonesia. Pada masa itu juga telah diperjuangkan
pemakaian bahasa Indonesia dalam sidang Volksraad dan perubahan kata
"Lnlander" menjadi orang Indonesia, kata "Nederlands-Indie"
menjadi Indonesia. Diskriminasi berdasarkan warna kulit juga diperjuangkan
untuk dihapuskan, tetapi semua itu ditolak oleh Belanda dengan janji akan
dibicarakan sesudah Perang Pasifik.
B. Organisasi dan Tokoh-Tokoh
Nasional dan Daerah dalam Perjuangan Menegakkan Negara Republik Indonesia
Berikut ini
adalah beberapa pergerakan nasional yang muncul di Indonesia sampai menjelang runtuhnya
kolonialisme Belanda :
1.
Budi Utomo
a.
Memajukan pengajaran;
b.
Memajukan pertanian, peternakan dan perdagangan;
c.
Memajukan teknik dan industri
d.
Menghidupkan kembali kebudayaan.
Dilihat dari
tujuannya, Budi Utomo bukan merupakan organisasi politik melainkan
merupakan organisasi pelajar dengan pelajar STOVIA sebagai intinya. Sampai
menjelang kongresnya yang pertama di Yogyakarta telah berdiri tujuh
cabang Budi Utomo, yakni di Batavia, Bogor, Bandung, Magelang,
Yogyakarta, Surabaya, dan Ponorogo.Untuk mengonsolidasi diri (dengan dihadiri 7
cabangnya), Budi Utomo mengadakan kongres yang pertama di
Yogyakarta pada tanggal 3-5 Oktober 1908. Kongres memutuskan hal-hal sebagai
berikut.
a.
Budi Utomo tidak ikut dalam mengadakan kegiatan
politik.
b.
Kegiatan Budi Utomo terutama ditujukan pada
bidang pendidikan dan kebudayaan.
c.
Ruang gerak Budi Utomo terbatas pada daerah
Jawa dan Madura.
d.
Memilih R.T. Tirtokusumo, Bupati Karanganyar sebagai
ketua.
e.
Yogyakarta ditetapkan sebagai pusat organisasi.
Sampai
dengan akhir tahun 1909, telah berdiri 40 cabang Budi Utomo dengan
jumlah anggota mencapai 10.000 orang. Akan tetapi, dengan adanya kongres
tersebut tampaknya terjadi pergeseran pimpinan dari generasi muda ke generasi
tua. Banyak anggota muda yang menyingkir dari barisan depan, dan
anggota Budi Utomo kebanyakan dari golongan priayi dan
pegawai negeri. Dengan demikian, sifat protonasionalisme dari para pemimpin
yang tampak pada awal berdirinya Budi Utomo terdesak ke belakang.
Strategi perjuangan BU pada dasarnya bersifat kooperatif.
Mulai tahun
1912 dengan tampilnya Notodirjo sebagai ketua menggantikan R.T.
Notokusumo, Budi Utomo ingin mengejar ketinggalannya. Akan tetapi,
hasilnya tidak begitu besar karena pada saat itu telah muncul
organisasi-organisasi nasional lainnya, seperti Sarekat Islam (SI) dan Indiche
Partij (IP). Namun demikian, Budi Utomo tetap mempunyai andil
dan jasa yang besar dalam sejarah pergerakan nasional, yakni
telah membuka jalan dan memelopori gerakan kebangsaan Indonesia. Itulah
sebabnya tanggal 20 Mei ditetapkan sebagai hari Kebangkitan
Nasional yang kita peringati setiap tahun hingga sekarang.
2.
K. H Samanhudi |
Atas
prakarsa H.O.S. Cokroaminoto, nama Sarekat Dagang Islam kemudian
diubah menjadi Sarekat Islam ( SI ), dengan tujuan untuk memperluas
anggota sehingga tidak hanya terbatas pada pedagang saja. Berdasarkan Akte
Notaris pada tanggal 10 September 1912, ditetapkan tujuan Sarekat
Islam sebagai berikut:
·
memajukan perdagangan;
·
membantu para anggotanya yang mengalami kesulitan
dalam bidang usaha (permodalan);
·
memajukan kepentingan rohani dan jasmani penduduk
asli;
·
memajukan kehidupan agama Islam.
H O S Tcokroaminoto |
Pada tahun
1915 berdirilah Central Sarekat Islam (CSI) yang berkedudukan di Surabaya.
Tugasnya ialah membantu menuju kemajuan dan kerjasama antar Sarekat
Islam lokal. Pada tanggal 17–24 Juni 1916 diadakan Kongres SI
Nasional Pertama di Bandung yang dihadiri oleh 80 Sarekat Islam lokal
dengan anggota 360.000 orang anggota. Dalam kongres tersebut
telah disepakati istilah "nasional", dimaksudkan
bahwa Sarekat Islam menghendaki persatuan dari seluruh lapisan
masyarakat Indonesia menjadi satu bangsa.
Sifat Sarekat
Islam yang demokratis dan berani serta berjuang terhadap kapitalisme untuk
kepentingan rakyat kecil sangat menarik perhatian kaum sosialis kiri yang
tergabung dalam Indische Social Democratische Vereeniging (ISDV) pimpinan
Sneevliet (Belanda), Semaun, Darsono, Tan Malaka, dan Alimin (Indonesia).Itulah
sebabnya dalam perkembangannya Sarekat Islam pecah menjadi dua
kelompok berikut ini.
a.
Kelompok nasionalis religius ( nasionalis keagamaan)
yang dikenal dengan Sarekat Islam Putih dengan asas perjuangan
Islam di bawah pimpinan H.O.S. Cokroaminoto.
b.
Kelompok ekonomi dogmatis yang dikenal dengan
nama Sarekat Islam Merah dengan haluan sosialis kiri di bawah
pimpinan Semaun dan Darsono.
3.
Indische Partij (IP)
Indische
Partij (IP) didirikan di Bandung pada tanggal 25 Desember 1912 oleh Tiga
Serangkai, yakni Douwes Dekker (Setyabudi Danudirjo), dr. Cipto Mangunkusumo,
dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara).Organisasi ini mempunyai
cita-cita untuk menyatukan semua golongan yang ada di Indonesia, baik golongan
Indonesia asli maupun golongan Indo, Cina, Arab, dan sebagainya. Mereka akan
dipadukan dalam kesatuan bangsa dengan membutuhkan semangat nasionalisme
Indonesia. Cita-cita Indische Partij banyak disebar-luaskan melalui
surat kabar De Expres. Di samping itu juga disusun program kerja sebagai
berikut:
a.
Meresapkan cita-cita nasional Hindia (Indonesia).
b.
Memberantas kesombongan sosial dalam pergaulan, baik
di bidang pemerintahan, maupun kemasyarakatan.
c.
Memberantas usaha-usaha yang membangkitkan kebencian
antara agama yang satu dengan yang lain.
d.
Memperbesar pengaruh pro-Hindia di lapangan
pemerintahan.
e.
Berusaha untuk mendapatkan persamaan hak bagi semua
orang Hindia.
f.
Dalam hal pengajaran, kegunaannya harus ditujukan
untuk kepentingan ekonomi Hindia dan memperkuat mereka yang ekonominya lemah.
Melihat
tujuan dan cara-cara mencapai tujuan seperti tersebut di atas maka dapat
diketahui bahwa Indische Partij berdiri di atas nasionalisme yang
luas menuju Indonesia merdeka. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa Indische Partij merupakan partai politik pertama di
Indonesia dengan haluan kooperasi. Dalam waktu yang singkat telah
mempunyai 30 cabang dengan anggota lebih kurang 7.000 orang yang kebanyakan
orang Indo.
Oleh karena
sifatnya yang progresif menyatakan diri sebagai partai politik dengan tujuan
yang tegas, yakni Indonesia merdeka sehingga pemerintah menolak untuk
memberikan badan hukum dengan alasan Indische Partij bersifat politik
dan hendak mengancam ketertiban umum. Walaupun demikian, para
pemimpin Indische Partij masih terus mengadakan propaganda untuk
menyebarkan gagasan-gagasannya.
Satu hal
yang sangat menusuk perasaan pemerintah Hindia Belanda adalah tulisan Suwardi
Suryaningrat yang berjudul Als ik een Nederlander was (seandainya saya seorang
Belanda) yang isinya berupa sindiran terhadap ketidakadilan di daerah jajahan.
Oleh karena kegiatannya sangat mencemaskan pemerintah Belanda maka pada bulan
Agustus 1913 ketiga pemimpin Indische Partij dijatuhi hukuman pengasingan
dan mereka memilih Negeri Belanda sebagai tempat pengasingannya.
Tiga Serangkai Ki Hadjar
Dewantara Tjipto Mangoenkoesoemo Douwes Dekker |
Dengan diasingkannya ketiga pemimpin Indische Partij maka kegiatan Indische Partij makin menurun. Selanjutnya, Indische Partij berganti nama menjadi Partai Insulinde dan pada tahun 1919 berubah lagi menjadi National Indische Partij (NIP). National Indische Partij tidak pernah mempunyai pengaruh yang besar di kalangan rakyat dan akhirnya hanya merupakan perkumpulan orang-orang terpelajar.
4. Muhammadiyah
K.H Ahmad Dahlan |
a.
Memajukan pendidikan dan pengajaran berdasarkan agama
Islam;
b.
Mengembangkan pengetahuan ilmu agama dan cara-cara
hidup menurut agama Islam.
Untuk
mencapai tujuan tersebut, usaha yang dilakukan oleh Muhammadiyah adalah sebagai
berikut:
a.
Mendirikan sekolah-sekolah yang berdasarkan agama
Islam ( dari TK sampaidengan perguruan tinggi);
b.
Mendirikan poliklinik-poliklinik, rumah sakit, rumah
yatim, dan masjid;
c.
Menyelenggarakan kegiatan-kegiatan keagamaan.
Muhammadiyah
berusaha untuk mengembalikan ajaran Islam sesuai dengan Al-Qur'an dan Hadis.
Itulah sebabnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran agama Islam secara
modern dan memperteguh keyakinan tentang agama Islam sehingga terwujud
masyarakat Islam yang sebenarnya. Kegiatan Muhammadiyah juga telah
memperhatikan pendidikan wanita yang dinamakan Aisyiah, sedangkan untuk
kepanduan disebut Hizbut Wathon ( HW ). Sejak berdiri di Yogyakarta (1912)
Muhammadiyah terus mengalami perkembangan yang pesat. Sampai tahun 1913,
Muhammadiyah telah memiliki 267 cabang yang tersebar di Pulau Jawa. Pada tahun
1935, Muhammadiyah sudah mempunyai 710 cabang yang tersebar di Pulau Jawa,
Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi.